Gempa Yogya Tewaskan 3.098 Orang
Rumah Sakit Kewalahan Menampung Korban
Keterangan gambar :
Semua rumah sakit di Yogyakarta dan daerah sekitar kebanjiran korban, Sabtu (27/5) Sejumlah korban yang dibawa rumah sakit Dr. Sardjito di Yogyakarta terpaksa ditangani di di ruangan terbuka.
Yogyakarta, Kompas
Gempa berkekuatan 5,9 skala Richter mengguncang DI Yogyakarta dan sekitarnya, Sabtu (27/5) pukul 05.53. Sampai pukul 00.15, tercatat 3.098 korban tewas dan 2.971 orang di antaranya berasal dari Kabupaten Bantul. Gempa juga meluluhlantakkan 3.824 bangunan, infrastruktur, dan memutuskan jaringan telekomunikasi di Yogyakarta dan Bantul.
Gempa di Yogyakarta ini merupakan bencana alam terbesar kedua setelah tsunami tahun 2004. Gelombang tsunami menyapu Provinsi Aceh dan Sumatera Utara, Desember 2004, dan menewaskan sekitar 170.000 orang. Bulan Maret 2005, gempa mengguncang Nias dan menewaskan sekitar 1.000 orang.
Tak hanya di Bantul, korban tewas juga berasal dari berbagai wilayah di DIY, seperti Kota Yogyakarta, Sleman, Kulon Progo, dan Gunung Kidul. Bahkan, korban tewas juga dari wilayah Jawa Tengah, seperti Klaten dan Boyolali.
Korban tewas pada umumnya karena tertimpa bangunan yang roboh, sementara korban luka-luka juga banyak terjadi karena kepanikan yang luar biasa. Mereka panik karena ada isu tsunami, lalu lintas jalan raya menjadi kacau, dan banyak tabrakan yang mengakibatkan warga terluka.
Semua rumah sakit pemerintah dan swasta penuh dengan korban gempa, baik luka ringan, parah, maupun meninggal. Rumah sakit itu umumnya tak sanggup lagi menampung korban sehingga pasien dirawat di halaman. Korban tewas banyak yang langsung dimakamkan keluarganya dengan sederhana karena banyak masyarakat yang tak lagi berada di rumah mereka.
Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X berharap para korban yang kini dirawat di rumah sakit di Yogyakarta dapat dievakuasi ke rumah sakit-rumah sakit lain, misalnya di Jakarta, agar penanganannya lebih baik. Hal ini karena rumah sakit di Yogyakarta fasilitas dan tenaganya sudah sangat terbatas.
Berdasarkan pemantauan oleh Stasiun Geofisika Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Yogyakarta, gempa tektonik berkekuatan 5,9 skala Richter (SR) ini terjadi pada pukul 05.53.58 di lepas pantai Samudra Hindia. Posisi episentrum pada koordinat 8,26 Lintang Selatan dan 110,33 Bujur Timur, atau pada jarak 38 kilometer selatan Yogyakarta pada kedalaman 33 kilometer. Gempa utama terus diikuti gempa susulan berkekuatan kecil.
Menurut Tony Agus Wijaya Ssi, pengamat geofisika pada Stasiun Geofisika Yogyakarta, kekuatan gempa belum menyebabkan gelombang tsunami. Berdasarkan perhitungan menggunakan pemodelan tsunami, gempa sebesar itu hanya sedikit menaikkan gelombang laut. ”Kalau terjadi tsunami, gelombang laut sudah akan sampai di pantai dalam 30 menit. Kalau sampai tiga jam ini belum ada, berarti tidak ada tsunami,” katanya.
Dampak gempa ini juga dialami oleh warga di Dusun Ngrangkah dan Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman. Sejumlah rumah di dusun yang berada di lereng Gunung Merapi ini rusak ringan dan sedang pada bagian atap.
Sebagian besar warga di Kabupaten Sleman menduga gempa berasal dari Gunung Merapi yang aktivitasnya sedang meningkat. Selepas terjadinya gempa, warga ke luar rumah dan memandang ke arah Gunung Merapi. Gumpalan awan panas di Merapi diyakini warga sebagai sumber gempa. Namun, dugaan itu salah besar karena sumber gempa berada di Laut Selatan.
”Saya khawatir gempa tektonik ini akan memengaruhi kestabilan kubah lava Gunung Merapi. Gempa tektonik dan susulannya harus terus dipantau pengaruhnya terhadap Merapi,” kata A Pudjo Hatmodjo, Kepala Subbagian Tata Usaha Stasiun Geofisika Yogyakarta.
Kunjungan Presiden
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X kemarin sore langsung mengunjungi korban di tempat pengungsian. Dalam konferensi pers di rumah dinas Bupati Bantul, Presiden meminta pemerintah daerah di Jawa Tengah dan DIY menggunakan segala sumber daya, misalnya pusat pembangkit, dan mengaktifkan badan koordinasi nasional.
”Utamakan perawatan dan pengobatan yang luka, evakuasi, dan pemakaman bagi jenazah yang meninggal. Menteri harus pastikan rumah sakit dan penampungan punya fasilitas cukup, penerangan operasi, obat-obatan, dokter, termasuk makanan dokter,” kata Presiden.
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie yang datang ke Bantul mengatakan, jumlah korban belum bisa dipastikan, namun data yang ia peroleh hingga Sabtu malam berjumlah 5.000 jiwa lebih dan masih bisa bertambah. Pemerintah juga memutuskan pendanaan operasi ditanggung pemerintah pusat dan daerah lewat satuan koordinasi dan pelaksana serta satgas-satgas di provinsi dan kabupaten.
690 korban di Klaten
Gempa bumi itu juga mengakibatkan ratusan korban tewas di Klaten, Jateng. Korban tewas hingga Sabtu sore mencapai 690 orang, berdasarkan data di Posko Bencana Gempa Bumi di Kantor Pemerintah Kabupaten Klaten. Jumlah paling besar tercatat di Kecamatan Gantiwarno (167 orang), Wedi (115 orang), dan Prambanan (89 orang).
Korban lain ditemukan di hampir seluruh kecamatan lainnya, seperti di Cawas (9), Trucuk (17 orang), Wonosari (2), Jogonalan (19), Ceper (2), Klaten Selatan (2), Pedan (3), Karangdowo (4), Klaten Tengah (1), Karanganom (1), dan Kebonarum (4).
”Korban tewas ratusan jiwa, yang luka ribuan, rumah yang roboh ribuan,” kata Kepala Kesbanglinmas Klaten Eko Medi Sukasto saat ditemui di Kecamatan Gantiwarno.
Selain memakan ratusan korban jiwa, ribuan warga lainnya luka parah maupun ringan. Rumah sakit yang ada di Klaten, seperti RS Dr Soeradji Tirtonegoro, RS Jiwa Soedjarwadi, Rumah Sakit Islam Klaten, dan Rumah Sakit Cakra Husada, tidak mampu menampung membeludaknya pasien.
Banyak pasien tak bisa tertangani sehingga hanya berada di luar pagar rumah sakit. Sisanya berada di selasar atau di depan bangsal dengan tempat tidur, infus, dan pengobatan seadanya di atas lantai. Lainnya dilarikan ke rumah sakit di Solo, seperti RSOP Prof Dr Soeharso yang hingga sore menampung 48 pasien dari Klaten.
Rumah sakit mengeluhkan kesulitan bensin untuk ambulans yang menjemput korban atau mengantarkannya kembali. Keluarga korban harus antre ambulans untuk menjemput keluarganya yang tewas.
Ribuan rumah warga juga hancur rata dengan tanah atau rusak sedang, namun tidak dapat ditempati lagi. Rumah-rumah di Wedi, Gantiwarno, dan Prambanan adalah yang paling banyak hancur. Paling kurang 1.224 bangunan rusak.
Fasilitas umum, seperti SD, SMP, kantor kecamatan, kantor polsek, kelurahan, tidak luput dari kehancuran di tiga kecamatan tersebut. Jalanan aspal juga retak dan terbelah di banyak tempat, seperti terlihat di Jalan Raya Jabung, Gantiwarno. Sebuah bus pelat merah yang sedang melintas saat gempa terguling karena jalanan merekah akibat gempa. Sambungan telepon dan listrik terputus. Hingga sore hari, jalanan padat karena lalu lalang anggota tim penyelamat, ambulans, dan warga yang panik.
Warga trauma dan tidak berani masuk ke rumah. Mereka berkumpul dan duduk-duduk di tepi atau perempatan jalan. Mereka juga sempat panik dan lari setelah munculnya isu akan adanya tsunami. Sebagian besar lari ke Bukit Jimbung, perbukitan kapur yang terletak di Klaten Selatan. Terlebih mereka kembali merasakan gempa susulan, sekitar pukul 08.00, 10.00, dan 11.30.
Mal dan balaikota retak
Di Solo, saat gempa berlangsung, orang-orang berhamburan keluar dari rumah dengan berteriak-teriak histeris. Jumlah pasien korban gempa yang masuk ke RS Muwardi Solo mencapai 259 orang dan sejumlah bangunan, terutama gedung-gedung bertingkat, rusak dan dindingnya retak, seperti pusat perbelanjaan Solo Square dan Solo Grand Mall (SGM) di Jalan Slamet Riyadi Solo, termasuk bangunan di lantai 6 Balaikota Solo.
Di Solo Square, akibat gempa, balok dari beton yang menopang papan nama Solo Square yang terletak di bagian depan paling atas gedung tersebut jatuh menimpa kaca di kanopi sehingga menimbulkan kerusakan di bagian depan Solo Square. Di SGM tembok bagian luar gedung terlihat retak. Matahari Dept Store dan Hypermart tidak beroperasi.
Gedung Balaikota Solo juga tak luput dari guncangan gempa. Beberapa tembok, terutama di lantai 4, 5, dan 6 gedung tersebut, retak. Belum diketahui pasti seberapa besar kerusakan gedung tersebut. Sejumlah gedung bertingkat, seperti hotel, juga retak temboknya.
Di Kebumen
Gempa juga dirasakan hampir di seluruh daerah di Jawa Tengah bagian selatan, seperti Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Wonosobo, dan Kebumen. Bahkan, di Kebumen dilaporkan dua rumah roboh. Gempa mengejutkan banyak penduduk yang baru melakukan aktivitasnya.
Dua rumah yang roboh di Kebumen milik Ny Marliyah, warga Desa Karangsari, Kecamatan Kutowinangun, dan rumah milik Kasmo, warga Desa Bonorowo, Kecamatan Bonorowo. Tidak ada korban dalam musibah tersebut. Menurut Tursino, tokoh nelayan di Kecamatan Ayah, nelayan sempat panik karena saat melaut tiba-tiba muncul gelombang besar. ”Namun, gelombang besar hanya berlangsung beberapa saat. Nelayan tidak tahu bahwa saat muncul gelombang besar baru saja terjadi gempa bumi,” ujarnya.
Semarang siaga penuh
Seluruh rumah sakit, baik pemerintah maupun swasta di Jawa Tengah, diinstruksikan untuk siaga penuh. Para dokter, perawat, dan tenaga medis yang semestinya libur ditekankan untuk melayani para korban.
”Seluruh biaya perawatan akan ditanggung sepenuhnya oleh Pemprov Jateng. Obat-obatan dan tenaga medis akan dikirimkan dari beberapa rumah sakit di Semarang. Bantuan logistik juga segera dikirimkan,” kata Kepala Badan Informasi, Komunikasi, dan Kehumasan Provinsi Jateng Saman Kadarisman, memaparkan instruksi Gubernur Jateng Mardiyanto saat meninjau lokasi gempa di Klaten.
Mardiyanto juga meminta kepada bupati dan wali kota yang wilayahnya terkena gempa untuk tetap melayani masyarakat dengan menginventarisasi kerugian, baik jiwa maupun harta.
Untuk mengintensifkan penanganan, Posko Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana Merapi di Magelang dialihkan sebagian ke Klaten. Posko pengungsi tersebar di berbagai kecamatan dan kelurahan, namun pusat penanganan di Kantor Bupati Klaten.
Sementara itu, warga di daerah-daerah yang diguncang gempa masih trauma. Semalam mereka tidur di luar rumah. Mereka banyak yang tidur di tanah lapang dengan tenda dan di halaman rumah. Mereka takut akan terjadi gempa lagi.
Tidak hanya orang tua yang tidur di luar, tetapi juga anak-anak kecil hanya beralaskan koran. ”Kami tidak berani tidur di dalam rumah, takut terjadi gempa lagi,” tutur Endang, ibu seorang anak di wilayah Gamping.
(ang/eki/son/nts/and/ wad/nit/why/ika)
Sumber : Kompas, Minggu, 28 Mei 2006
=====
Trauma Tsunami
Kepanikan di Bawah Bayang-bayang Bencana
Kepanikan. Itu barangkali satu kata yang bisa digunakan untuk menandai peristiwa gempa besar yang melanda Yogyakarta, Sabtu (27/5).
Satu jam setelah gempa itu terjadi, dengan cepat muncul isu adanya tsunami yang bakal melanda Yogyakarta. Siapa yang mengawali penyebaran isu yang akhirnya menjadi teror mental itu, tak ada yang tahu.
Yang pasti, hampir serentak ribuan manusia berlari, naik motor, mobil, semua menuju ke arah utara dalam sebuah kepanikan yang luar biasa. Begitu kuatnya isu itu, hampir serentak menggerakkan warga Yogyakarta ke arah utara mendekati kawasan Gunung Merapi yang masih dalam status Awas Merapi, sebagian lagi ke barat naik Bukit Menoreh, Kulon Progo.
Kemacetan terjadi di mana-mana, seperti di Jalan Bantul, Jalan Parangtritis, Jalan Magelang, dan Jalan Kaliurang. Jalan-jalan perkotaan semuanya macet menuju satu arah, ke utara. Bahkan, jalan lingkar selatan yang seharusnya berfungsi dua arah nekat diterjang menjadi satu arah. Mereka bergerak ke arah yang sama, mencari jalur- jalur ke utara. Semua ingin berebut duluan. Suara klakson bersautan dalam nada tinggi, deru mesin yang meraung-raung makin menumbuhkan kepanikan.
Di Jalan Kusumanegara, kepanikan terjadi sekitar pukul 08.00 setelah serombongan pengendara motor berteriak "air" dan "tsunami" sambil menyalakan lampu motor mereka. Teriakan itu kontan membuat masyarakat yang sudah berdiri di sepanjang jalan ikut berlarian ke arah utara.
Di Jalan Sudirman, depan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta, puluhan warga yang semula berada di jalanan berlarian mencari tempat yang lebih tinggi. Kondisi yang sama terjadi di sepanjang Jalan Parangtritis, Bantul. Warga yang panik akan isu tsunami berbondong menuju Kota Yogyakarta dengan mengendarai kendaraan roda dua dan mobil. Hal ini sempat memacetkan jalur lalu lintas di beberapa titik. Apalagi, lampu lalu lintas mati sejak gempa.
Kepanikan juga terjadi di sepanjang Jalan Magelang, Sleman. Warga berlarian keluar rumah, kemudian ada satu keluarga keluar membawa mobil pikap untuk mengangkut anggota keluarga dan tetangga. "Pak, ayo lari cepat," ujar seorang anak usia belasan kepada ayahnya yang sudah renta dan tidak sanggup berlari.
Rombongan warga Yogyakarta yang melarikan kendaraan dengan kencang dan lampu depan dinyalakan menyulut kepanikan warga Klaten. Sri Widodo, warga Ceper, sedang bersih-bersih kamar ketika tiba-tiba ia menyaksikan banyak orang naik kendaraan dengan kencang. "Saya ketemu orang dari arah Yogya, katanya air sudah sampai Prambanan, langsung saya lari bersama ibu dan keponakan naik motor," katanya.
Bukit Jimbung menjadi salah satu tempat pelarian warga Klaten di daerah selatan. "Tadi saya sempat lari ke sana. Banyak truk dari sungai lari ke sana, katanya banjir. Kami trauma dengan tsunami di Aceh," kata Risnu, warga Pandes, Wedi.
Warga Dusun Mrisi, Tirtonirmolo, Bantul, yang panik akibat kabar tsunami, mencari tempat yang aman di Gunung Sempu dan Gunung Majapahit di utara dusun. Kabar tsunami itu cepat menyebar karena pesan berlangsung estafet dari warga yang bergerak dari Bantul menuju Kota Yogyakarta. Fenomena yang sama terjadi di Dusun Kasongan, Bantul.
Isu tsunami menyebabkan puluhan warga yang terluka dan sekarat ditinggalkan begitu saja di pinggir jalan. Warga yang panik cenderung mengurusi keselamatan masing-masing. Lebih parah lagi, isu tsunami juga menyebabkan pemilik mobil angkutan umum yang dimintai tolong untuk mengangkut warga tidak mau berhenti. Penumpang juga tidak mau turun karena takut terkena tsunami. Angkutan itu justru tancap gas menghindari tsunami.
Kemanusiaan
Inilah peristiwa kemanusiaan yang membawa rasa iba. Seorang kakek di wilayah Krangkungan, Condongcatur, tertatih berlari ke utara, tanpa tujuan yang jelas. "Saya takut, kabarnya ada air yang mau datang ke sini," kata kakek berusia sekitar 70 tahun itu. Jauh di belakang kakek yang sedang berlari itu, lima mobil bak terbuka dengan penumpang penuh siap meluncur ke utara. Demikian pula keluarga-keluarga yang berada di wilayah itu, semua bersiap dalam mobil dalam posisi ke utara.
Lebih tragis lagi, rombongan penebang tebu dari Temanggung yang menjalani tugasnya di wilayah Imogiri. Rombongan 11 orang ini berlari-lari meninggalkan lokasi kerjanya, menempuh jarak 12 kilometer, sampai di Yogyakarta. "Ketika kami sedang bekerja, banyak orang lewat memberi tahu kami agar lari karena ada tsunami. Tanpa pikir panjang kami ikut lari, sampai di Kota Yogyakarta ini," kata Warno, salah seorang dari mereka.
"Semua itu terjadi karena faktor kebingungan saja. Di saat orang dalam kondisi seperti itu, yang ada hanya panik. Yang mereka lakukan akhirnya spontanitas-spontanitas penyelamatan diri yang sebenarnya juga tak tahu harus ke mana. Kalau toh semua bergerak ke utara, hanya karena logika sederhana saja. Kejadian di selatan, mereka menyingkir ke utara," kata budayawan Sindhunata.
Artinya, apa yang diungkapkan Sindhunata untuk menegaskan bahwa sulit diperkirakan isu tsunami muncul karena ada orang yang sengaja meniupkannya. "Yang ada hanya spekulasi orang mencari selamat. Peristiwa gempa itu sulit diprediksi sehingga sulit untuk merencanakan sesuatu dan kemudian menebarkan menjadi isu. Lain dengan letusan Gunung Merapi yang bisa diprediksi gejalanya. Bisa saja muncul isu-isu di tengah letusan Merapi," katanya.
Ungkapan Sindhunata itu diperkuat oleh antropolog UGM, Lono Simatupang, yang mengatakan, kekisruhan ini lebih karena situasi yang mencekam. Masyarakat Yogyakarta tahu betul—meskipun hanya dari televisi—akan dahsyatnya bencana tsunami di Aceh. Itu yang membawa masyarakat dalam arus ketakutan yang dahsyat.
Peristiwa gempa ini, kata Lono, jaraknya tidak jauh dari imbauan Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X agar nelayan tidak melaut dulu karena ada gelombang pasang di Pantai Selatan.
Kenangan-kenangan semacam itu makin membuat panik warga. Peristiwa alam yang terus bertubi, seperti tsunami Aceh, banjir dan tanah longsor yang mengerikan, serta peristiwa Merapi, membuat masyarakat sensitif terhadap bencana alam.
Sekitar satu jam isu tsunami itu menguat, kemudian perlahan mereda. Namun, masyarakat tetap bergerombol di jalan-jalan kota atau perkampungan. Umumnya mereka memandang ke langit di atas Laut Selatan. Sepertinya mereka masih waswas, apa yang sesungguhnya akan terjadi di laut yang kaya kisah legendaris itu.
Isu tsunami mereda, yang kemudian mewarnai sepanjang Kota Yogyakarta adalah raungan sirene yang membawa korban meninggal atau luka, mencari rumah sakit yang kosong di Yogyakarta. Raungan sirene itu seperti rintihan hati orang-orang yang iba melihatnya. (eki/ang/wer/ben/eny/top)
Sumber : Kompas : Minggu, 28 Mei 2006
=========
Ekonomi Yogya Lumpuh Total
Bandara Adisutjipto Ditutup sampai Minggu Siang
Keterangan gambar :
Warga dan calon penumpang di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, Sabtu(27/5), berlari menyelamatkan diri karena adanya isu tsunami
Yogyakarta, Kompas
Kepanikan akibat gempa tektonik yang melanda Yogyakarta, Sabtu (27/5), tidak saja mengakibatkan banyak korban jiwa, tetapi seluruh sentra ekonomi daerah ini lumpuh total. Kerusakan infrastruktur listrik, telekomunikasi, pasar, bandara, stasiun kereta api, dan lumpuhnya pasar rakyat ini ditaksir menimbulkan kerugian puluhan miliar rupiah.
Kelumpuhan itu antara lain terjadi karena listrik padam, penutupan Bandara Adisutjipto, macetnya sekitar 40 base transceiver station (BTS) Telkomsel, kerusakan stasiun kereta api, serta ambruknya sejumlah pasar rakyat.
Selain itu, praktis sepanjang hari kemarin seluruh pusat pertokoan, seperti kawasan Malioboro serta kawasan sekitarnya, tutup total. Bahkan, warung-warung makan juga tutup. Beberapa minimarket yang sempat buka pagi hari diserbu sejumlah warga yang panik dengan memborong barang-barang kebutuhan pokok.
Bandara Adisutjipto ditutup akibat robohnya terminal domestik. Kejadian itu mengakibatkan dua penumpang AdamAir tujuan Jakarta tewas tertimpa bagian atas bangunan. General Manager PT Angkasa Pura I Adisutjipto Aryadi Subagyo mengemukakan, akibat penutupan bandara, diperkirakan 3.400 penumpang yang menggunakan 31 penerbangan tidak bisa diberangkatkan.
Meskipun demikian, tiga pesawat yang menginap di bandara tetap diberangkatkan beberapa saat setelah gempa. Aryadi yang didampingi Airport Duty Manager PT Angkasa Pura I Djunaedi mengungkapkan, beberapa maskapai mengalihkan penerbangan ke Bandara Adisumarno, Solo.
Diperoleh informasi, empat penerbangan Batavia Air tujuan Yogyakarta dari Jakarta, Surabaya, Pontianak, dan Balikpapan dialihkan ke Semarang.
Di Jakarta, Menteri Perhubungan Hatta Rajasa mengemukakan, Bandara Adisutjipto masih akan ditutup hingga Minggu pukul 12.00. Dirjen Perhubungan Udara Mohammad Iksan Tatang menambahkan, kerugian akibat kerusakan fisik bandara itu mencapai sekitar Rp 4,6 miliar.
Sementara jalur kereta api Yogyakarta-Solo kemarin pukul 12.00 sudah bisa dilalui meski untuk melewati rel yang rusak di lintas Brambanan-Srowot (Klaten) kecepatan kereta harus dikurangi hingga lima kilometer per jam.
Kehilangan daya
PT PLN Penyaluran dan Pusat Pengatur Beban Jawa Bali (P3B) Region Jateng-DIY kehilangan daya 23 megawatt akibat kerusakan gardu induk listrik di Pedan, Klaten. Ini disampaikan Asisten Manajer Operasi Sistem PT PLN P3B Region Jateng-DIY Cahyono Widiadi.
Itu berarti akan terjadi pemadaman secara bergilir dan bertahap di seluruh wilayah Jateng-DIY. Pemadaman dimulai Sabtu pukul 17.00-22.00.
Berdasarkan pantauan, pasar-pasar yang menjadi urat nadi perekonomian rakyat di DI Yogyakarta sebagian besar tidak beroperasi. Bahkan, Pasar Piyungan nyaris rata dengan tanah. Sebagian bangunan Pasar Bantul juga roboh.
Gempa ini mengakibatkan ratusan infrastruktur ekonomi di Bantul, Kota Yogyakarta, dan Sleman rusak maupun hancur. Plaza Ambarrukmo dan Saphir Square, dua mal paling baru di Yogyakarta, misalnya, rusak di beberapa bagian sehingga dipastikan tutup. Kondisi serupa juga dialami sejumlah hotel berbintang.
Ekonom dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Prof Dr Edy Suandi Hamid memperkirakan bahwa kerugian akibat gempa dalam beberapa hari ke depan bisa mencapai puluhan miliar rupiah. (Tim Kompas)
Sumber : Kompas Minggu, 28 Mei 2006
Rumah Sakit Kewalahan Menampung Korban
Keterangan gambar :
Semua rumah sakit di Yogyakarta dan daerah sekitar kebanjiran korban, Sabtu (27/5) Sejumlah korban yang dibawa rumah sakit Dr. Sardjito di Yogyakarta terpaksa ditangani di di ruangan terbuka.
Yogyakarta, Kompas
Gempa berkekuatan 5,9 skala Richter mengguncang DI Yogyakarta dan sekitarnya, Sabtu (27/5) pukul 05.53. Sampai pukul 00.15, tercatat 3.098 korban tewas dan 2.971 orang di antaranya berasal dari Kabupaten Bantul. Gempa juga meluluhlantakkan 3.824 bangunan, infrastruktur, dan memutuskan jaringan telekomunikasi di Yogyakarta dan Bantul.
Gempa di Yogyakarta ini merupakan bencana alam terbesar kedua setelah tsunami tahun 2004. Gelombang tsunami menyapu Provinsi Aceh dan Sumatera Utara, Desember 2004, dan menewaskan sekitar 170.000 orang. Bulan Maret 2005, gempa mengguncang Nias dan menewaskan sekitar 1.000 orang.
Tak hanya di Bantul, korban tewas juga berasal dari berbagai wilayah di DIY, seperti Kota Yogyakarta, Sleman, Kulon Progo, dan Gunung Kidul. Bahkan, korban tewas juga dari wilayah Jawa Tengah, seperti Klaten dan Boyolali.
Korban tewas pada umumnya karena tertimpa bangunan yang roboh, sementara korban luka-luka juga banyak terjadi karena kepanikan yang luar biasa. Mereka panik karena ada isu tsunami, lalu lintas jalan raya menjadi kacau, dan banyak tabrakan yang mengakibatkan warga terluka.
Semua rumah sakit pemerintah dan swasta penuh dengan korban gempa, baik luka ringan, parah, maupun meninggal. Rumah sakit itu umumnya tak sanggup lagi menampung korban sehingga pasien dirawat di halaman. Korban tewas banyak yang langsung dimakamkan keluarganya dengan sederhana karena banyak masyarakat yang tak lagi berada di rumah mereka.
Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X berharap para korban yang kini dirawat di rumah sakit di Yogyakarta dapat dievakuasi ke rumah sakit-rumah sakit lain, misalnya di Jakarta, agar penanganannya lebih baik. Hal ini karena rumah sakit di Yogyakarta fasilitas dan tenaganya sudah sangat terbatas.
Berdasarkan pemantauan oleh Stasiun Geofisika Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Yogyakarta, gempa tektonik berkekuatan 5,9 skala Richter (SR) ini terjadi pada pukul 05.53.58 di lepas pantai Samudra Hindia. Posisi episentrum pada koordinat 8,26 Lintang Selatan dan 110,33 Bujur Timur, atau pada jarak 38 kilometer selatan Yogyakarta pada kedalaman 33 kilometer. Gempa utama terus diikuti gempa susulan berkekuatan kecil.
Menurut Tony Agus Wijaya Ssi, pengamat geofisika pada Stasiun Geofisika Yogyakarta, kekuatan gempa belum menyebabkan gelombang tsunami. Berdasarkan perhitungan menggunakan pemodelan tsunami, gempa sebesar itu hanya sedikit menaikkan gelombang laut. ”Kalau terjadi tsunami, gelombang laut sudah akan sampai di pantai dalam 30 menit. Kalau sampai tiga jam ini belum ada, berarti tidak ada tsunami,” katanya.
Dampak gempa ini juga dialami oleh warga di Dusun Ngrangkah dan Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman. Sejumlah rumah di dusun yang berada di lereng Gunung Merapi ini rusak ringan dan sedang pada bagian atap.
Sebagian besar warga di Kabupaten Sleman menduga gempa berasal dari Gunung Merapi yang aktivitasnya sedang meningkat. Selepas terjadinya gempa, warga ke luar rumah dan memandang ke arah Gunung Merapi. Gumpalan awan panas di Merapi diyakini warga sebagai sumber gempa. Namun, dugaan itu salah besar karena sumber gempa berada di Laut Selatan.
”Saya khawatir gempa tektonik ini akan memengaruhi kestabilan kubah lava Gunung Merapi. Gempa tektonik dan susulannya harus terus dipantau pengaruhnya terhadap Merapi,” kata A Pudjo Hatmodjo, Kepala Subbagian Tata Usaha Stasiun Geofisika Yogyakarta.
Kunjungan Presiden
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X kemarin sore langsung mengunjungi korban di tempat pengungsian. Dalam konferensi pers di rumah dinas Bupati Bantul, Presiden meminta pemerintah daerah di Jawa Tengah dan DIY menggunakan segala sumber daya, misalnya pusat pembangkit, dan mengaktifkan badan koordinasi nasional.
”Utamakan perawatan dan pengobatan yang luka, evakuasi, dan pemakaman bagi jenazah yang meninggal. Menteri harus pastikan rumah sakit dan penampungan punya fasilitas cukup, penerangan operasi, obat-obatan, dokter, termasuk makanan dokter,” kata Presiden.
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie yang datang ke Bantul mengatakan, jumlah korban belum bisa dipastikan, namun data yang ia peroleh hingga Sabtu malam berjumlah 5.000 jiwa lebih dan masih bisa bertambah. Pemerintah juga memutuskan pendanaan operasi ditanggung pemerintah pusat dan daerah lewat satuan koordinasi dan pelaksana serta satgas-satgas di provinsi dan kabupaten.
690 korban di Klaten
Gempa bumi itu juga mengakibatkan ratusan korban tewas di Klaten, Jateng. Korban tewas hingga Sabtu sore mencapai 690 orang, berdasarkan data di Posko Bencana Gempa Bumi di Kantor Pemerintah Kabupaten Klaten. Jumlah paling besar tercatat di Kecamatan Gantiwarno (167 orang), Wedi (115 orang), dan Prambanan (89 orang).
Korban lain ditemukan di hampir seluruh kecamatan lainnya, seperti di Cawas (9), Trucuk (17 orang), Wonosari (2), Jogonalan (19), Ceper (2), Klaten Selatan (2), Pedan (3), Karangdowo (4), Klaten Tengah (1), Karanganom (1), dan Kebonarum (4).
”Korban tewas ratusan jiwa, yang luka ribuan, rumah yang roboh ribuan,” kata Kepala Kesbanglinmas Klaten Eko Medi Sukasto saat ditemui di Kecamatan Gantiwarno.
Selain memakan ratusan korban jiwa, ribuan warga lainnya luka parah maupun ringan. Rumah sakit yang ada di Klaten, seperti RS Dr Soeradji Tirtonegoro, RS Jiwa Soedjarwadi, Rumah Sakit Islam Klaten, dan Rumah Sakit Cakra Husada, tidak mampu menampung membeludaknya pasien.
Banyak pasien tak bisa tertangani sehingga hanya berada di luar pagar rumah sakit. Sisanya berada di selasar atau di depan bangsal dengan tempat tidur, infus, dan pengobatan seadanya di atas lantai. Lainnya dilarikan ke rumah sakit di Solo, seperti RSOP Prof Dr Soeharso yang hingga sore menampung 48 pasien dari Klaten.
Rumah sakit mengeluhkan kesulitan bensin untuk ambulans yang menjemput korban atau mengantarkannya kembali. Keluarga korban harus antre ambulans untuk menjemput keluarganya yang tewas.
Ribuan rumah warga juga hancur rata dengan tanah atau rusak sedang, namun tidak dapat ditempati lagi. Rumah-rumah di Wedi, Gantiwarno, dan Prambanan adalah yang paling banyak hancur. Paling kurang 1.224 bangunan rusak.
Fasilitas umum, seperti SD, SMP, kantor kecamatan, kantor polsek, kelurahan, tidak luput dari kehancuran di tiga kecamatan tersebut. Jalanan aspal juga retak dan terbelah di banyak tempat, seperti terlihat di Jalan Raya Jabung, Gantiwarno. Sebuah bus pelat merah yang sedang melintas saat gempa terguling karena jalanan merekah akibat gempa. Sambungan telepon dan listrik terputus. Hingga sore hari, jalanan padat karena lalu lalang anggota tim penyelamat, ambulans, dan warga yang panik.
Warga trauma dan tidak berani masuk ke rumah. Mereka berkumpul dan duduk-duduk di tepi atau perempatan jalan. Mereka juga sempat panik dan lari setelah munculnya isu akan adanya tsunami. Sebagian besar lari ke Bukit Jimbung, perbukitan kapur yang terletak di Klaten Selatan. Terlebih mereka kembali merasakan gempa susulan, sekitar pukul 08.00, 10.00, dan 11.30.
Mal dan balaikota retak
Di Solo, saat gempa berlangsung, orang-orang berhamburan keluar dari rumah dengan berteriak-teriak histeris. Jumlah pasien korban gempa yang masuk ke RS Muwardi Solo mencapai 259 orang dan sejumlah bangunan, terutama gedung-gedung bertingkat, rusak dan dindingnya retak, seperti pusat perbelanjaan Solo Square dan Solo Grand Mall (SGM) di Jalan Slamet Riyadi Solo, termasuk bangunan di lantai 6 Balaikota Solo.
Di Solo Square, akibat gempa, balok dari beton yang menopang papan nama Solo Square yang terletak di bagian depan paling atas gedung tersebut jatuh menimpa kaca di kanopi sehingga menimbulkan kerusakan di bagian depan Solo Square. Di SGM tembok bagian luar gedung terlihat retak. Matahari Dept Store dan Hypermart tidak beroperasi.
Gedung Balaikota Solo juga tak luput dari guncangan gempa. Beberapa tembok, terutama di lantai 4, 5, dan 6 gedung tersebut, retak. Belum diketahui pasti seberapa besar kerusakan gedung tersebut. Sejumlah gedung bertingkat, seperti hotel, juga retak temboknya.
Di Kebumen
Gempa juga dirasakan hampir di seluruh daerah di Jawa Tengah bagian selatan, seperti Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Wonosobo, dan Kebumen. Bahkan, di Kebumen dilaporkan dua rumah roboh. Gempa mengejutkan banyak penduduk yang baru melakukan aktivitasnya.
Dua rumah yang roboh di Kebumen milik Ny Marliyah, warga Desa Karangsari, Kecamatan Kutowinangun, dan rumah milik Kasmo, warga Desa Bonorowo, Kecamatan Bonorowo. Tidak ada korban dalam musibah tersebut. Menurut Tursino, tokoh nelayan di Kecamatan Ayah, nelayan sempat panik karena saat melaut tiba-tiba muncul gelombang besar. ”Namun, gelombang besar hanya berlangsung beberapa saat. Nelayan tidak tahu bahwa saat muncul gelombang besar baru saja terjadi gempa bumi,” ujarnya.
Semarang siaga penuh
Seluruh rumah sakit, baik pemerintah maupun swasta di Jawa Tengah, diinstruksikan untuk siaga penuh. Para dokter, perawat, dan tenaga medis yang semestinya libur ditekankan untuk melayani para korban.
”Seluruh biaya perawatan akan ditanggung sepenuhnya oleh Pemprov Jateng. Obat-obatan dan tenaga medis akan dikirimkan dari beberapa rumah sakit di Semarang. Bantuan logistik juga segera dikirimkan,” kata Kepala Badan Informasi, Komunikasi, dan Kehumasan Provinsi Jateng Saman Kadarisman, memaparkan instruksi Gubernur Jateng Mardiyanto saat meninjau lokasi gempa di Klaten.
Mardiyanto juga meminta kepada bupati dan wali kota yang wilayahnya terkena gempa untuk tetap melayani masyarakat dengan menginventarisasi kerugian, baik jiwa maupun harta.
Untuk mengintensifkan penanganan, Posko Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana Merapi di Magelang dialihkan sebagian ke Klaten. Posko pengungsi tersebar di berbagai kecamatan dan kelurahan, namun pusat penanganan di Kantor Bupati Klaten.
Sementara itu, warga di daerah-daerah yang diguncang gempa masih trauma. Semalam mereka tidur di luar rumah. Mereka banyak yang tidur di tanah lapang dengan tenda dan di halaman rumah. Mereka takut akan terjadi gempa lagi.
Tidak hanya orang tua yang tidur di luar, tetapi juga anak-anak kecil hanya beralaskan koran. ”Kami tidak berani tidur di dalam rumah, takut terjadi gempa lagi,” tutur Endang, ibu seorang anak di wilayah Gamping.
(ang/eki/son/nts/and/ wad/nit/why/ika)
Sumber : Kompas, Minggu, 28 Mei 2006
=====
Trauma Tsunami
Kepanikan di Bawah Bayang-bayang Bencana
Kepanikan. Itu barangkali satu kata yang bisa digunakan untuk menandai peristiwa gempa besar yang melanda Yogyakarta, Sabtu (27/5).
Satu jam setelah gempa itu terjadi, dengan cepat muncul isu adanya tsunami yang bakal melanda Yogyakarta. Siapa yang mengawali penyebaran isu yang akhirnya menjadi teror mental itu, tak ada yang tahu.
Yang pasti, hampir serentak ribuan manusia berlari, naik motor, mobil, semua menuju ke arah utara dalam sebuah kepanikan yang luar biasa. Begitu kuatnya isu itu, hampir serentak menggerakkan warga Yogyakarta ke arah utara mendekati kawasan Gunung Merapi yang masih dalam status Awas Merapi, sebagian lagi ke barat naik Bukit Menoreh, Kulon Progo.
Kemacetan terjadi di mana-mana, seperti di Jalan Bantul, Jalan Parangtritis, Jalan Magelang, dan Jalan Kaliurang. Jalan-jalan perkotaan semuanya macet menuju satu arah, ke utara. Bahkan, jalan lingkar selatan yang seharusnya berfungsi dua arah nekat diterjang menjadi satu arah. Mereka bergerak ke arah yang sama, mencari jalur- jalur ke utara. Semua ingin berebut duluan. Suara klakson bersautan dalam nada tinggi, deru mesin yang meraung-raung makin menumbuhkan kepanikan.
Di Jalan Kusumanegara, kepanikan terjadi sekitar pukul 08.00 setelah serombongan pengendara motor berteriak "air" dan "tsunami" sambil menyalakan lampu motor mereka. Teriakan itu kontan membuat masyarakat yang sudah berdiri di sepanjang jalan ikut berlarian ke arah utara.
Di Jalan Sudirman, depan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta, puluhan warga yang semula berada di jalanan berlarian mencari tempat yang lebih tinggi. Kondisi yang sama terjadi di sepanjang Jalan Parangtritis, Bantul. Warga yang panik akan isu tsunami berbondong menuju Kota Yogyakarta dengan mengendarai kendaraan roda dua dan mobil. Hal ini sempat memacetkan jalur lalu lintas di beberapa titik. Apalagi, lampu lalu lintas mati sejak gempa.
Kepanikan juga terjadi di sepanjang Jalan Magelang, Sleman. Warga berlarian keluar rumah, kemudian ada satu keluarga keluar membawa mobil pikap untuk mengangkut anggota keluarga dan tetangga. "Pak, ayo lari cepat," ujar seorang anak usia belasan kepada ayahnya yang sudah renta dan tidak sanggup berlari.
Rombongan warga Yogyakarta yang melarikan kendaraan dengan kencang dan lampu depan dinyalakan menyulut kepanikan warga Klaten. Sri Widodo, warga Ceper, sedang bersih-bersih kamar ketika tiba-tiba ia menyaksikan banyak orang naik kendaraan dengan kencang. "Saya ketemu orang dari arah Yogya, katanya air sudah sampai Prambanan, langsung saya lari bersama ibu dan keponakan naik motor," katanya.
Bukit Jimbung menjadi salah satu tempat pelarian warga Klaten di daerah selatan. "Tadi saya sempat lari ke sana. Banyak truk dari sungai lari ke sana, katanya banjir. Kami trauma dengan tsunami di Aceh," kata Risnu, warga Pandes, Wedi.
Warga Dusun Mrisi, Tirtonirmolo, Bantul, yang panik akibat kabar tsunami, mencari tempat yang aman di Gunung Sempu dan Gunung Majapahit di utara dusun. Kabar tsunami itu cepat menyebar karena pesan berlangsung estafet dari warga yang bergerak dari Bantul menuju Kota Yogyakarta. Fenomena yang sama terjadi di Dusun Kasongan, Bantul.
Isu tsunami menyebabkan puluhan warga yang terluka dan sekarat ditinggalkan begitu saja di pinggir jalan. Warga yang panik cenderung mengurusi keselamatan masing-masing. Lebih parah lagi, isu tsunami juga menyebabkan pemilik mobil angkutan umum yang dimintai tolong untuk mengangkut warga tidak mau berhenti. Penumpang juga tidak mau turun karena takut terkena tsunami. Angkutan itu justru tancap gas menghindari tsunami.
Kemanusiaan
Inilah peristiwa kemanusiaan yang membawa rasa iba. Seorang kakek di wilayah Krangkungan, Condongcatur, tertatih berlari ke utara, tanpa tujuan yang jelas. "Saya takut, kabarnya ada air yang mau datang ke sini," kata kakek berusia sekitar 70 tahun itu. Jauh di belakang kakek yang sedang berlari itu, lima mobil bak terbuka dengan penumpang penuh siap meluncur ke utara. Demikian pula keluarga-keluarga yang berada di wilayah itu, semua bersiap dalam mobil dalam posisi ke utara.
Lebih tragis lagi, rombongan penebang tebu dari Temanggung yang menjalani tugasnya di wilayah Imogiri. Rombongan 11 orang ini berlari-lari meninggalkan lokasi kerjanya, menempuh jarak 12 kilometer, sampai di Yogyakarta. "Ketika kami sedang bekerja, banyak orang lewat memberi tahu kami agar lari karena ada tsunami. Tanpa pikir panjang kami ikut lari, sampai di Kota Yogyakarta ini," kata Warno, salah seorang dari mereka.
"Semua itu terjadi karena faktor kebingungan saja. Di saat orang dalam kondisi seperti itu, yang ada hanya panik. Yang mereka lakukan akhirnya spontanitas-spontanitas penyelamatan diri yang sebenarnya juga tak tahu harus ke mana. Kalau toh semua bergerak ke utara, hanya karena logika sederhana saja. Kejadian di selatan, mereka menyingkir ke utara," kata budayawan Sindhunata.
Artinya, apa yang diungkapkan Sindhunata untuk menegaskan bahwa sulit diperkirakan isu tsunami muncul karena ada orang yang sengaja meniupkannya. "Yang ada hanya spekulasi orang mencari selamat. Peristiwa gempa itu sulit diprediksi sehingga sulit untuk merencanakan sesuatu dan kemudian menebarkan menjadi isu. Lain dengan letusan Gunung Merapi yang bisa diprediksi gejalanya. Bisa saja muncul isu-isu di tengah letusan Merapi," katanya.
Ungkapan Sindhunata itu diperkuat oleh antropolog UGM, Lono Simatupang, yang mengatakan, kekisruhan ini lebih karena situasi yang mencekam. Masyarakat Yogyakarta tahu betul—meskipun hanya dari televisi—akan dahsyatnya bencana tsunami di Aceh. Itu yang membawa masyarakat dalam arus ketakutan yang dahsyat.
Peristiwa gempa ini, kata Lono, jaraknya tidak jauh dari imbauan Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X agar nelayan tidak melaut dulu karena ada gelombang pasang di Pantai Selatan.
Kenangan-kenangan semacam itu makin membuat panik warga. Peristiwa alam yang terus bertubi, seperti tsunami Aceh, banjir dan tanah longsor yang mengerikan, serta peristiwa Merapi, membuat masyarakat sensitif terhadap bencana alam.
Sekitar satu jam isu tsunami itu menguat, kemudian perlahan mereda. Namun, masyarakat tetap bergerombol di jalan-jalan kota atau perkampungan. Umumnya mereka memandang ke langit di atas Laut Selatan. Sepertinya mereka masih waswas, apa yang sesungguhnya akan terjadi di laut yang kaya kisah legendaris itu.
Isu tsunami mereda, yang kemudian mewarnai sepanjang Kota Yogyakarta adalah raungan sirene yang membawa korban meninggal atau luka, mencari rumah sakit yang kosong di Yogyakarta. Raungan sirene itu seperti rintihan hati orang-orang yang iba melihatnya. (eki/ang/wer/ben/eny/top)
Sumber : Kompas : Minggu, 28 Mei 2006
=========
Ekonomi Yogya Lumpuh Total
Bandara Adisutjipto Ditutup sampai Minggu Siang
Keterangan gambar :
Warga dan calon penumpang di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, Sabtu(27/5), berlari menyelamatkan diri karena adanya isu tsunami
Yogyakarta, Kompas
Kepanikan akibat gempa tektonik yang melanda Yogyakarta, Sabtu (27/5), tidak saja mengakibatkan banyak korban jiwa, tetapi seluruh sentra ekonomi daerah ini lumpuh total. Kerusakan infrastruktur listrik, telekomunikasi, pasar, bandara, stasiun kereta api, dan lumpuhnya pasar rakyat ini ditaksir menimbulkan kerugian puluhan miliar rupiah.
Kelumpuhan itu antara lain terjadi karena listrik padam, penutupan Bandara Adisutjipto, macetnya sekitar 40 base transceiver station (BTS) Telkomsel, kerusakan stasiun kereta api, serta ambruknya sejumlah pasar rakyat.
Selain itu, praktis sepanjang hari kemarin seluruh pusat pertokoan, seperti kawasan Malioboro serta kawasan sekitarnya, tutup total. Bahkan, warung-warung makan juga tutup. Beberapa minimarket yang sempat buka pagi hari diserbu sejumlah warga yang panik dengan memborong barang-barang kebutuhan pokok.
Bandara Adisutjipto ditutup akibat robohnya terminal domestik. Kejadian itu mengakibatkan dua penumpang AdamAir tujuan Jakarta tewas tertimpa bagian atas bangunan. General Manager PT Angkasa Pura I Adisutjipto Aryadi Subagyo mengemukakan, akibat penutupan bandara, diperkirakan 3.400 penumpang yang menggunakan 31 penerbangan tidak bisa diberangkatkan.
Meskipun demikian, tiga pesawat yang menginap di bandara tetap diberangkatkan beberapa saat setelah gempa. Aryadi yang didampingi Airport Duty Manager PT Angkasa Pura I Djunaedi mengungkapkan, beberapa maskapai mengalihkan penerbangan ke Bandara Adisumarno, Solo.
Diperoleh informasi, empat penerbangan Batavia Air tujuan Yogyakarta dari Jakarta, Surabaya, Pontianak, dan Balikpapan dialihkan ke Semarang.
Di Jakarta, Menteri Perhubungan Hatta Rajasa mengemukakan, Bandara Adisutjipto masih akan ditutup hingga Minggu pukul 12.00. Dirjen Perhubungan Udara Mohammad Iksan Tatang menambahkan, kerugian akibat kerusakan fisik bandara itu mencapai sekitar Rp 4,6 miliar.
Sementara jalur kereta api Yogyakarta-Solo kemarin pukul 12.00 sudah bisa dilalui meski untuk melewati rel yang rusak di lintas Brambanan-Srowot (Klaten) kecepatan kereta harus dikurangi hingga lima kilometer per jam.
Kehilangan daya
PT PLN Penyaluran dan Pusat Pengatur Beban Jawa Bali (P3B) Region Jateng-DIY kehilangan daya 23 megawatt akibat kerusakan gardu induk listrik di Pedan, Klaten. Ini disampaikan Asisten Manajer Operasi Sistem PT PLN P3B Region Jateng-DIY Cahyono Widiadi.
Itu berarti akan terjadi pemadaman secara bergilir dan bertahap di seluruh wilayah Jateng-DIY. Pemadaman dimulai Sabtu pukul 17.00-22.00.
Berdasarkan pantauan, pasar-pasar yang menjadi urat nadi perekonomian rakyat di DI Yogyakarta sebagian besar tidak beroperasi. Bahkan, Pasar Piyungan nyaris rata dengan tanah. Sebagian bangunan Pasar Bantul juga roboh.
Gempa ini mengakibatkan ratusan infrastruktur ekonomi di Bantul, Kota Yogyakarta, dan Sleman rusak maupun hancur. Plaza Ambarrukmo dan Saphir Square, dua mal paling baru di Yogyakarta, misalnya, rusak di beberapa bagian sehingga dipastikan tutup. Kondisi serupa juga dialami sejumlah hotel berbintang.
Ekonom dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Prof Dr Edy Suandi Hamid memperkirakan bahwa kerugian akibat gempa dalam beberapa hari ke depan bisa mencapai puluhan miliar rupiah. (Tim Kompas)
Sumber : Kompas Minggu, 28 Mei 2006
No comments:
Post a Comment