Memperingati Hari Kebangkitan Nasional 2006
Kritikan bisa saja datang dari mana saja. Kritikan haruslah didasari karena kita ingin membangunkan Indonesia dari keterpurukan yang rasanya sudah berlangsung sekian lama tanpa ada titik terang yang melegakan.
Di negara lain mungkin krisis senantiasa melahirkan momentum perubahan dan perbaikan, serta melahirkan formulasi sosok kepemimpinan seperti apa yang manjur. Tapi mungkin kita memang berbeda. Mungkin salah kita sendiri karena menganut pepatah : Lain ladang lain belalang lain lubuk lain ikannya. Sudah terjadi empat pergantian kepemimpinan selama delapan tahun reformasi berjalan (dihitung dari era Soeharto yang berakhir Mei 1998) tetapi sepertinya kita belum juga bisa belajar dari kesalahan. Setelah delapan tahun rasanya belum juga muncul desain tentang Era Indonesia Baru yang lebih baik.
Tapi skeptis adalah kabar buruk. Ketika banyak bangsa kita di masa sebelum 17 Agustus 1945 yang merasa skeptis bahwa kemerdekaan adalah utopia, atau bahkan setelahnya ; kemunduran Suharto adalah hal yang tidak mungkin terjadi, toh semua itu terjadi juga. Karena sikap skeptis dan pesimis sama saja dengan lelehan air mata putus asa yang bisa mendorong timbulnya apatisme. Apatisme dapat menimbulkan sikap apriori, iri hati dan frustrasi terhadap pemerintahan yang ada. Keadaan ini jika dibiarkan terus menerus bisa menggerus resistansi bangsa ini.
Celah-celah ini kadang kala terlupakan oleh kita dan bisa dimanfaatkan oleh "oknum" bangsa sendiri atau dari luar yang memiliki niat tertentu terhadap bangsa ini. Terorisme, kerusuhan, amuk masa, pembantaian etnis atau umat agama tertentu contohnya. Tindakan anasionalis seperti ancaman pemisahan diri sebagian warga Bali yang disponsori oleh seniman pro pornografi dan pornoaksi serta permintaan suaka politik dari warga Papua juga bisa dilihat sebagai pemisalan.
Jadi mari kita kedepankan sikap optimisme bangsa. Jangan hanya cukup berhenti hanya pada ide atau gagasan saja.Tapi mari bersama kita kawal reformasi dengan (seperti istilah Aa Gym) : luruskan niat, sempurnakan ikhtiar, terakhir bertawakallah kepada Allah. Sehingga apa yang kita cita-citakan yang salah satu di antaranya adalah : terjadinya proses pertumbuhan kepribadian yang lebih baik pada diri birokrat sampai dengan rakyat menjadi hal yang bukan utopia.
========
DISIPLIN:
SEBUAH GERAKAN BUDAYA
Oleh : Mohammad Wildan Hambali
Kita adalah apa yang kita kerjakan berulang-ulang
Karena itu , keunggulan bukanlah suatu perbuatan,
melainkan sebuah kebiasaan
(Aristotle)
"Mari pak, naik pak, lewat kota pak, langsung, tidak lewat Slipi, ya ,pak.."
Demikian kalimat supir bus Damri jurusan Bandara Soekarno Hatta - Gambir pada pagi itu (9/5) memberi ajakan sekaligus penjelasan kepada setiap penumpang yang menghampiri pintu busnya di bandara Soekarno Hatta. Segera penumpang yang tadinya hanya sekitar 3 orang langsung mendadak menjadi 12 orang termasuk saya yang duduk di dekat kaca samping kanan 2 bangku di belakang supir. Kenapa si Supir tidak lewat Slipi? Bukankah itu jalur yang biasa dilewati Bus Damri jurusan Soekarno-Hatta-Gambir, tanya saya dalam hati.
"Begini , Pak. Ini kan masih pagi sekali, sekitar Pukul 7.00, biasanya tol yang lewat Slipi itu macet sekali. Sementara penumpang sedikit. Jadinya tahulah, saya rugi kalau lewat sana. Lebih baik saya cepat sampai Gambir, dari sana mudah-mudahan banyak penumpang yang bisa saya angkut," begitu kira-kira penjelasan Si Supir kepada penumpang yang duduk tepat di belakangnya.
Oh, begitu dalam hati saya. Akal-akalan juga. Demi keuntungan pribadi ia berusaha melanggar jalur bus yang sudah ditetapkan perusahaan. Padahal besar kemungkinan ia akan bertemu dengan petugas jalan raya. Tapi apa lacur, jika seandainya ia ketahuan pun dan distop, paling ia turun dari mobil sambil berusaha memberi sejumlah argumentasi. Dan Ketika kemudian si petugas tetap ingin menilangnya, muncullah apa yang dinamakan UAB alias UAng Abis Perkara. Nama alias lainnya adalah Uang Sogok, Uang Suap, Uang Pungutan. What's the name, lah.
Mungkin anda juga sering mendengar istilah "uang mel". Uang mel ini sering diberikan kepada petugas yang sedang berdiri di perbatasan kota atau kabupaten. Jika ada mobil box, taxi ,mobil travel, atau mobil jasa lainnya yang melewati perbatasan kota tersebut biasanya mereka sudah mengerti dengan sendirinya. Seketika tangan si supir menjulur dari kaca depan sebelah kanan, seketika juga uang disambar. Maka selamatlah si sopir, tanpa harus ditanya segala tentang surat jalan, invoice atau faktur yang berisi keterangan tentang barang yang diangkut.
Begitulah. Itulah sekelumit contoh peristiwa di negeri akal-akalan ini. Semua bisa diatur, begitu kata seorang mantan menteri kita di era Soeharto. Dari kejadian di atas bisa kita lihat siapa yang akal-akalan. Si supir atau si petugas? Hati nurani kita pasti menjawab cepat : Dua-duanya! Kenapa?
Mental Menerobos
Akal-Akalan sebagai pemecahan dari suatu masalah yang tercipta dari pelanggaran atas peraturan yang sudah kita tetapkan, bahkan seringkali sudah tersusun sebagai suatu produk hukum tidak bisa dianggap sebagai sikap "kreatif". Sebab sikap mental yang suka menerobos (menerabas) norma-norma hukum tentulah bukan sikap mental yang terpuji. Dan hal ini bisa menjadi kebiasaan yang akan terus menerus terulang sehingga membuat kita memiliki karakter yang cenderung permisif dan abai.Karakter yang cenderung permisif dan abai ketika menghadapi suatu masalah yang kita anggap kecil tanpa disadari memicu munculnya masalah yang lebih besar.
Masalah penting yang kita hadapi kini tidak dapat kita pecahkan pada pada tingkat berfikir yang sama seperti kita menciptakan masalah tersebut. (Albert Einstein)
Professor Koentjaraningrat seorang pakar antropologi di dalam bukunya Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, salah satu kelemahan dari sifat mental bangsa Indonesia sesudah revolusi adalah apa yang disebutnya sebagai sifat mental menerabas. Yang dimaksud dengan sikap mental menerabas itu ialah nafsu untuk mencapai tujuan secepat-cepatnya tanpa banyak kerelaan berusaha dari permulaan secara selangkah demi selangkah.Sifat mental tersebut sejalan dengan sifat-sifat negatif lainnya, seperti sering melanggar disiplin, suka mengabaikan tugas, serta meremehkan mutu pekerjaan.
Buku ini adalah hasil studinya yang mendalam terhadap kenyataan dalam masyarakat Indonesia sejak hampir tiga dasawarsa yang lalu. Namun melihat fenomena di atas kita melihat bahwa gejala tersebut tidak berkurang bahkan makin mengakar.
Sifat menerabas itu sekarang terlihat dari kebiasaan banyak orang yang ingin mendapatkan sesuatu dengan jalan pintas, tanpa memperdulikan aturan-aturan dan prosedur yang sudah disepakati, menabrak rambu-rambu sehingga menciptakan kondisi "tanpa etika" dan "tanpa hukum"
Kita mungkin bisa melihat perilaku sebagian elit politik kita yang cenderung "oportunitis" dalam mencari peluang tanpa menghiraukan cara-cara yang sopan dan legal, sehingga dapat merugikan rakyat banyak. Ketika menghadapi suatu masalah, perilaku ancam -mengancam menjadi hal yang lumrah, keras dibalas keras menjadi pemandangan sehari-hari. Bahkan itu terjadi juga di kalangan sesama elit politik itu sendiri. Mungkin jika dilihat dari aspek demokrasi barat itu hal biasa dan sah-sah saja. Tapi jika dilihat dari segi moral dan etika itu menunjukkan kekerdilan jiwa dan kelemahan akal. Sikap orang yang sehat akalnya tentulah jika menghadapi masalah selalu mendahulukan sikap lapang dada, penuh wawasan, cerdas tanpa harus menonjolkan nafsu menang semata.
Dalam bidang ekonomi tumbuh subur praktek-praktek korupsi, kolusi, sogok dan nepotisme untuk melicinkan jalan kepada tujuan yang diinginkan. Segala cara dipandang halal (machiavelisme) , sehingga batas -batas halal-haram, legal illegal, etis non etis, bahkan manusiawi-non manusiawi menjadi semakin kabur.Sifat jujur, naif, lugu, terus terang, malah menjadi suatu sifat yang harus dimarjinalkan.Hal ini akhirnya menjadi suatu tragedi kehidupan, seperti yang pernah disitir oleh seorang Filsuf Yunani, Plato :
"We can easily forgive a child who is afraid of the dark. The real tragedy of life is when a men are afraid of the light."
Dalam bidang penegakan hukum (Law Enforcement) tak lebih dari retorika belaka dan permainan kata-kata yang jauh dari dambaan para pencari keadilan. Hukum masih sering berfihak kepada elit kekuasaan dan kekuatan.
"(Soal) penegakan hukum mengganggu sekali. Sekarang ini rakyat kecil sudah faham jika penegakan hukum diskriminatif dan tebang pilih. Di tingkat yang lebih tinggi, teman-teman yang ikut mendukung (pemerintahan sekarang), (ikut) berkampanye, tidak disentuh. Tetapi yang lain-lain dikejar-kejar. Saya kira DPR pun 'idem dhito" (dengan pemerintah)." kata Prof Dr. Mohammad Amien Rais, sang "Lokomotif Reformasi" dalam wawancaranya di harian Kompas, Sabtu kemarin.
Pelanggaran HAM masih terjadi di mana-mana tempat dan berbagai sektor kehidupan rakyat , dari cara yang sangat kasar sampai kepada cara-cara yang sangat halus dan terselubung. Sebuah lembaga bentukan pemerintah Le atau Tim Pencari Fakta ternyata perannya dalam mengungkap masih jauh panggang dari api. Ini terbukti dari banyaknya kasus-kasus pelanggaran HAM yang aktor intelektualnya tetap tidak tersentuh pengadilan seperti kasus Tanjung Priok, Aceh, Ambon, Poso, kasus Mei 1998, dan lain-lain. Ini mungkin karena Political Will pemerintah yang masih bersifat Lips Service alias basa basi saja.Atau mereka mungkin masih disibuki oleh perebutan "harta warisan" dari sistem yang manipulatif dari rezim yang lama.
Ada juga pelanggaran HAM rakyat secara halus dan terselubung itu misalnya perampasan hak-hak rakyat untuk mendapatkan perlindungan dan rasa aman, hak mendapatkan kelayakan hidup sebagai manusia, dan hak untuk mendapatkan tarif harga kebutuhan pokok seperti sembako, listrik, air, minyak tanah, dll, yang layak dan terjangkau oleh kemampuan daya beli rakyat yang mayoritas hidup dalam kemiskinan.
Di bidang budaya ,budaya materialis sepertinya sudah semakin menggerus budaya asli kita yang luhur dan beradab. Kebanyakan orang sekarang lebih akrab dengan budaya global dan budaya kontemporer. Arus budaya hedonistik yang disebut trend busana yang muncul belakangan ini cenderung tidak berpijak pada jati diri bangsa. Para pemuja budaya globalistik ini biasanya para kaum remaja yang selalu ingin menjadi pusat perhatian sesuai dengan psyche (suasana jiwa) saat itu. Dan jika tidak mengikuti trend, mereka takut dianggap bukan anggota kelompok (peer group) atau takut dibilang "gak gaul". Sebagai contoh ; di jalan, di kampus, di mall atau dimana saja kita semakin sulit mengidentifikasi dari mana seseorang berasal, apa dari Indonesia atau bukan, dari suku Jawa, Menado atau Sunda, misalnya, jika kita hanya melihat dari gaya dan caranya berpakaian. Kaus ketat sepusar, rambut dicat, celana melorot sepinggul (model hipster), anting sebelah, diantaranya, adalah ciri dekadensi budaya. Atau mungkin ini malah semacam "syndrome" krisis nasionalisme ? Seorang teman bergurau, mungkin seandainya saja ada yang menawari mereka semacam "Green Card" atau "suaka politik" gratis mungkin tanpa ba bi bu mereka langsung mengiyakan. Gurauan ini mungkin kedengarannya agak kasar, tapinya rasanya tidak terlalu berlebihan dalam memperlihatkan kondisi yang ada sekarang ini.
Insert Photo :
Trend busana yang tidak berpijak pada jati diri bangsa
(Sumber : Kompas, Minggu 19 Februari 2006)
Selain itu, kita ketahui sudah banyak bangunan candi yang rusak dan tidak terurus.Atau malah ada bagian-bagiannya yang dipreteli untuk diperjual belikan di pasar gelap. Dipamerkan di eksibisi luar negeri, menjadi koleksi museum terkenal di mancanegara atau malah berakhir di tangan para kolektor Seni.
Seni tari atau seni drama kita yang tidak laku dijual bahkan sudah banyak yang mati dan dilupakan orang. Ironisnya, mungkin suatu saat ada orang asing yang kebetulan melihatnya, tertarik untuk "memungutnya", kemudian membawa pulang kenegerinya. Pada suatu saat ketika dipagelarkan di sana, kita mungkin harus bayar tiket untuk menontonnya. Termasuk biaya passport dan tiket pesawat.
Di bidang moral dan akhlak, penyakit arogansi, irihati, dendam dan serakah semakin berjangkit di dalam masyarakat. Sehingga terjadilah tuntutan, hujatan, amuk masa seperti yang baru-baru ini terjadi di Tuban, dan segala sumpah serapah berbagai lapisan, ibarat "maling teriak maling". Sementara itu dalam situasi semacam itu banyak pula yang menangguk di air keruh. Korupsi dan manipulasi jalan terus. Mereka menggunakan kesempatan dalam kesempitan dan bergaya hidup "aji mumpung".
Penumbuhan Disiplin
Profesor Koentjaraningrat yang juga pendiri Jurusan Antropologi Universitas Indonesia dan Mohtar Lubis seorang jurnalis Indonesia sepakat mengatakan bahwa manusia Indonesia itu tidak berdisiplin murni. Dan sifat mental menerabas memang berpangkal dari ketidaksabaran dan lemahnya pengendalian diri, sehingga memunculkan tindakan indisipliner (tidak disiplin) sehingga melanggar norma-norma hukum serta norma-norma sosial yang berlaku.
Disiplin menunjukkan keunggulan, sekalipun disiplin itu bermacam-macam, menurut Darmanto Jatman psikolog dan budayawan dalam sebuah buku Tanggung Renteng. Kebiasaan ini kelihatannya sepele tetapi hasilnya bisa jadi revolusioner. Disiplin berdimensi sosial dan kultural. Seperti mengajarkan seorang anak kecil agar memiliki kultur sekolah dan rajin belajar, Seringkali disiplin harus ditumbuhkan dengan hukuman.
Seperti cerita tentang Pangeran Hamburg yang mendapat perintah dari Kaisar Jerman memimpin pasukan ke medan perang. Ia mendapat instruksi untuk tidak menyerang lawan. Pada awalnya ia patuh. Tetapi ketika ia mendapat peluang menyerang, Hamburg mengabaikan istruksi Kaisar, dan langsung memimpin penyerangan. Ternyata ia memperoleh kemenangan.
Sepanjang perjalanan kembali ke istana, Hamburg dan pasukan yang menang perang itu dielu-elukan rakyat atas keberanian dan kehebatannya. Ia bangga sekalipun telah melanggar aturan.
Kaisar mengetahui pelanggaran atas titahnya. Namun ia tidak mau menjatuhkan hukuman ketika rakyat banyak mengelu-elukan kemenangan dan merayakan kemenangan Hamburg. Rakyat yang kagum pada Hamburg tentu berbalik marah pada kaisar.
Oleh karena itu kaisar memutuskan tidak langsung menghukum Hamburg, namun justru memberi penghargaan dengan mengangkatnya sebagai putra mahkota. Keesokan harinya barulah hukuman dilaksanakan. Ia mendapat hukuman mati.
Ada cerita lainnya. Sun Tzu, adalah panglima jenderal Tiongkok yang lihai pada zamannya. Ia banyak menulis buku tentang strategi perang, yang menjadi best seller pada zaannya.Bahkan sampai sekarang masih dibaca orang.Kaisar China sangat terkesan oleh kepiawaian sun Tzu sehingga memberi tugas kepadanya untuk mendisiplinkan 150 selir kaisar. Sun Tzu bersedia melakukan titah Kaisar dengan memberikan wewenang penuh kepadanya untuk melakukan apa saja yang dianggapnya perlu.Kaisar yang merasa pusing dengan tingkah selirnya, tak keberatan dengan syarat yang diminta Sun Tzu.
Sun Tzu berpendapat bahwa disiplin bisa ditanamkan melalui pelajaran baris berbaris. Ia pun tahu bahwa mengajar 150 orang selir sekaligus untuk baris berbaris adalah tragedi. Ia lalu memilih tiga orang selir yang paling dikasihi Kaisar. Ketiga orang itulah yang kemudian dididiknya secara khusus untuk menjadi pelatih baris berbaris.
Setelah dianggapnya cukup, ketiga selir itu dimintanya melatih pasukan selir yang telah dibagi menjadi tiga kelompok. Dapat diduga, acara itu segera berubah menjadi kekacauan besar. Ketiga pelatih maupun peserta hanya cekikikan di lapangan, dan mereka sengaja membuat kesalahan-kesalahan untuk meledakkan tawa yang lebih besar.
Melihat kekacauan ini, Sun Tzu membubarkan barisan dan memberi bimbingan dengan lebih rinci,lebih lambat dan jelas kepada ketiga komandan. Latihan baris berbaris pun dimulai lagi. Yang terjadi bukannya disiplin, melainkan kekacauan.
Sekali lagi Sun Tzu membubarkan barisan dan memberikan latihan khusus sekali lagi kepada tiga komandan sambil menanyakan apakah ada yang kurang rinci atau kurang jelas dari pelajarannya. Ternyata tak ada yang bertanya. Ketiganya menyatakan bahwa baris-berbaris adalah urusan gampang.Mereka juga meremehkan Sun Tzu sambil menyanggupi bahwa esok pasti pelajaran baris berbaris akan berjalan lancar.
Esoknya, kekacauan tejadi lagi. Sun Tzu mengumpulan ketiga selir utama setelah membubarkan barisan. Menurut Sun Tzu, seseorang melanggar perintah pimpinan karena ia tidak tahu tujuan dari perintah tersebut. Jika tujuan jelas, namun masih terjadi pelanggaran mungkin instruksinya yang tidak jelas. Jika tujuan dan instruksinya jelas, namun pelanggaran masih berlangsung juga, maka pimpinannyayang tidak becus. Pimpinan itulah yang harus diberi sanksi.
"Nyonya-nyonya, berdasarkan teori siasat saya , bila tiga kali berturut-turut suatu hal gagal dilakukan, maka orang yang gagal itu harus dihukum pancung. Karena itu besok di hadapan seluruh selir Kaisar, saya akan melaksanakan hukuman itu.
Ketiga selir itu melapor pada kaisar. Kaisar menjelaskan kepada Sun Tzu bahwa ketiga selir itu adalah selir kecintaannya. Sun Tzu justru berkata, "Justru karena itu Baginda harus memberi saya izin untuk menghukum ketiga komandan yang gagal itu." Akhirnya, kepala tiga selir itu dipenggal. Dan Sun Tzu berhasil. Kaisar kini tak pusing lagi dengan soal kedisiplinan para selirnya. Ia memang kehilangan 3 selir yang paling dikasihinya. Tapi kini ia memiliki 147 selir yang jauh lebih dikasihinya.
Insert Photo :
Rutinitas keseharian dan perilaku ketidaksabaran dapat membuahkan tindakan indisipliner yang bisa membahayakan keselamatan pribadi maupun orang lain. Sepertinya kecelakaan Kereta Api yang kerap terjadi tidak mengakibatkan jera para penumpangnya yang sampai memenuhi atap.
Disiplin memang bukan hanya tepat waktu. Selain memiliki dimensi sosial dan kultural ia juga memiliki bentuk yang berbeda-beda. Ada disiplin mati tanpa toleransi dan berorientasi pada hasil seperti yang dilakukan Sun Tzu. Ada disiplin yang "according to the book" seperti yang dilakukan kaisar terhadap Hamburg. Namun ada pula disiplin yang kontekstual mengacu pada budaya suatu komunitas yang mengenal toleransi, dilakukan secara bertahap.
Sebuah pohon sebesar Anda bermula dari biji yang kecil; perjalanan sejauh seribu mil berawal dari sebuah langkah kecil. (Lao tse)
Disiplin kontekstual ini dimulai dari lingkungan yang paling inti, kemudian diperluas, diperluas lagi hingga nilai itu benar terinternalisasidi setiap bangsa kita. Ketika lingkungan yang lebih luas merasakan manfaat disiplin, maka saat itulah disiplin menjadi gerakan budaya dan dilakukan secara otomatis. Marilah kita mulai dari lingkungan terdekat kita yaitu diri kita sendiri. meluas ke keluarga kita, kemudian RT , RW sampai ke petugas dan para pemimpin kita.
Mungkin sebagai contoh, jika ingin berkendara, jangan lupa untuk membawa surat-surat berkendara yang lengkap. Dan kalau memang lupa atau memang kebetulan kita melanggar aturan lalu lintas yang lain, jangan sungkan untuk meminta surat tilang dan membayar denda sesuai ketentuan yang berlaku .
Sumber :
- Sosok dan Pemikiran : Kita Masih Berada di Terowongan Yang Gelap, Wawancara dengan Prof. DR. Mohammad Amien Rais, Kompas, Sabtu, 20 Mei 2006
- Seratus Kiat 2: jurus Sukses Kaum Bisnis, Bondan Winarno, Pustaka Utama Grafiti, 1989
- Kelangkaan BBM dan kemunduran Budaya,Adriani S Soemantri, Kompas, Sabtu, 13 Agustus 2006
- 7 Habits Highly Effective People, Stephen R Covey, Binarupa Aksara, 1997
- Sifat Mental Menerabas, Buletin Dakwah, 10 Agustus 2001
- Marilah Mulai Melihat dari Yang Kecil, Khairina, Kompas, Sabtu, 20 Mei 2006.
- Menuju "Civil Society", Kompas, Minggu, 19 Februari 2006.
PENGEMUDI UGAL-UGALAN ,
Paling Dibenci Orang Indonesia
Keterangan Photo :
NEKAT Terobos - Sejumlah pengendara sepeda motor serta pengemudi bajaj dan mikrolet nekat menerobos pintu perlintasan kereta api di Jalan Pisangan, Jakarta Timur. Tindakan ugal-ugalan tersebut membahayakan diri sendiri, penumpang, dan pengendara lainnya.
JAKARTA - Apa yang paling dibenci orang Indonesia? Ternyata dari hasil survei khusus yang dilakukan Reader's Digest, sebuah penerbit global terkemuka, orang Indonesia paling benci dengan pengemudi yang menjalankan kendaraannya secara ugal-ugalan.
Selain itu, kemacetan lalu-lintas, ketidakjujuran, janji yang tidak ditepati, dan kenaikan harga BBM, merupakan hal yang paling menjengkelkan atau mengesalkan dalam kehidupan sehari-hari bagi orang Indonesia.
Hal itu disampaikan Pemimpin Redaksi Reader's Digest Indonesia Widarti Gunawan dalam siaran persnya, Kamis (5/1).
Menurut Widarti, survei itu dilakukan pada September sampai Oktober 2005 terhadap 3.600 responden di seluruh Asia, dengan masing-masing 400 responden dari Thailand, Filipina, Cina, Malaysia, Taiwan, Hong Kong, Korea Selatan, Singapura, dan Indonesia.
Responden itu dibagi dalam tiga kelompok usia, yakni 18 tahun sampai 34 tahun, 35 tahun sampai 50 tahun, dan di atas 50 tahun. Responden diminta menilai 20 hal yang biasanya mengesalkan dengan skala berjenjang, yakni sangat mengesalkan, mengesalkan, agak mengesalkan, atau tidak mengesalkan sama sekali.
Dari hasil survei itu, pengemudi ugal-ugalan juga menjadi hal yang paling tidak disukai oleh responden di Korea Selatan, Filipina, Malaysia, dan Thailand. Sementara responden di Cina mengeluhkan soal pelayanan buruk di toko/restoran. Responden Hong Kong, Singapura dan Taiwan, mengeluhkan soal meludah di tempat umum.
Urutan tindakan/hal yang paling mengesalkan bagi orang Asia adalah pengemudi ugal-ugalan dan penyerobot antrean (86 persen), meludah di tempat umum (84 persen), pelayanan buruk di toko-toko atau restoran (82 persen), membuang sampah sembarangan (79 persen), orang yang jorok (77 persen), kotoran anjing di jalan/taman (75 persen), memaki atau mengeluarkan kata-kata kasar (74 persen), tetangga yang berisik (69 persen), serta merokok di tempat umum (69 persen).
Orang Asia juga tidak suka pada orang yang tidak tepat waktu (68 persen), kerusakan komputer dan orang yang bicara keras-keras dengan telepon selular (66 persen), kendaraan umum yang penuh sesak (60 persen), para telemarketer (58 persen), iklan-iklan pop-up di internet (56 persen), perbaikan jalan (55 persen), orang yang tidak mengatakan tolong atau terima kasih (49 persen), mesin penjawab telepon otomatis (43 persen), dan kemasan plastik yang tidak dapat dibuka (40 persen).
KEJENGKELAN TERENDAH
Lebih jauh Widarti mengemukakan, dari seluruh responden di Asia, ternyata responden di Thailand merupakan yang paling jengkel terhadap 20 hal yang ditanyakan, sementara orang Singapura memiliki tingkat kejengkelan terendah.
Urut-urutannya adalah Thailand menempati urutan pertama dengan 14,5 persen, kemudian Filipina 14,2 persen, Cina 14,1 persen, Malaysia 13,5 persen, Taiwan 13,5 persen, Hong Kong 13,2 persen, Indonesia dengan 13,1 persen, Korea Selatan dengan 12,8 persen, dan Singapura dengan 12,1 persen.
Menurut Paulin Straughan, seorang profesor di Departemen Sosiologi National University of Singapore, hasil survei yang menempatkan Singapura pada tingkat kejengkelan terendah karena di Singapura sudah digalakkan kampanye sosial yang mendidik masyarakat terhadap macam-macam perilaku sosial, seperti "Keep Singapore Clean". "Mungkin kampanye ini berhasil," ujarnya.
Sedangkan Assiri Dhammachote, penulis sebuah kolom mengenai permasalahan sosial di koran Bangkok Kom Chad Lue berkomentar," Tingginya angka penggerutu di Thailand kemungkinan merupakan imbas dari ledakan pertumbuhan penduduk. Masalah seperti kemacetan lalu lintas dan polusi udara membuat orang seperti hilang ingatan."
Sementara Jim Plouffe, Pemimpin Redaksi Reader's Digest edisi Asia menyatakan, ada hal-hal yang menarik ketika survei dilakukan.
"Jika Anda bertanya kepada seorang urban yang sibuk tentang pukul berapakah saat ini, kemungkinan mereka akan mengacuhkan Anda. Tetapi bila Anda bertanya hal-hal yang membuat mereka jengkel, maka mereka akan bicara berjam-jam," ujarnya. (RS/A-16)
Sumber : Harian Suara Pembaruan Oleh : Charles Ulag, Last modified: 7/1/06
============================
Bangsa Ini Memerlukan Zhu
Oleh: Asro Kamal Rokan
Xiao Hongbo telah dihukum mati pekan lalu. Delapan orang pacarnya yang dibiayai dalam kehidupan mewah-- mungkin hanya menangisi lelaki berusia 37 tahun. Tidak ada yang bisa membantunya. Deputi manajer cabang Bank Konstruksi China, salah satu bank milik negara, di Dacheng, Provinsi Sichuan, itu dihukum mati karena korupsi. Xiao telah merugikan bank sebesar 4 juta yuan atau sekitar Rp 3,9 miliar sejak 1998 hingga 2001. Uang itu digunakan untuk membiayai kehidupan delapan pacarnya.
Xiao Hongbo satu di antara lebih dari empat ribu orang di Cina yang telah dihukum mati sejak 2001 karena terbukti melakukan kejahatan, termasuk korupsi. Angka empat ribu itu, menurut Amnesti Internasional (AI), jauh lebih kecil dari fakta sesungguhnya. AI mengutuk cara-cara Cina itu, yang mereka sebut sebagai suatu yang mengerikan.
Tapi, bagi Perdana Menteri Zhu Rongji inilah jalan menyelamatkan Cina dari kehancuran. Ketika dilantik menjadi perdana menteri pada 1998, Zhu dengan lantang mengatakan, "Berikan kepada saya seratus peti mati, sembilan puluh sembilan untuk koruptor, satu untuk saya jika saya melakukan hal yang sama".
Zhu tidak main-main. Cheng Kejie, pejabat tinggi Partai Komunis Cina, dihukum mati karena menerima suap lima juta dolar AS. Tidak ada tawar-menawar.
Permohonan banding wakil ketua Kongres Rakyat Nasional itu ditolak pengadilan. Bahkan istrinya, Li Ping, yang membantu suaminya meminta uang suap, dihukum penjara.
Wakil Gubernur Provinsi Jiangxi, Hu Chang-ging, pun tak luput dari peti mati.
Hu terbukti menerima suap berupa mobil dan permata senilai Rp 5 miliar.
Ratusan bahkan mungkin ribuan peti mati telah terisi, tidak hanya oleh para pejabat korup, tapi juga pengusaha, bahkan wartawan.
Selama empat bulan pada 2003 lalu, 33.761 polisi dipecat. Mereka dipecat tidak hanya karena menerima suap, tapi juga berjudi, mabuk-mabukan, membawa senjata diluar tugas, dan kualitas di bawah standar.
Agaknya Zhu Rongji paham betul pepatah Cina: bunuhlah seekor ayam untuk menakuti seribu ekor kera. Dan, sejak ayam-ayam dibunuh, kera-kera menjadi takut, kini pertumbuhan ekonomi Cina mencapai 9 persen per tahun dengan nilai pendapatan domestik bruto sebesar 1.000 dolar AS. Cadangan devisa mereka sudah mencapai 300 miliar dolar AS.
Sukses Cina itu, menurut guru besar Universitas Peking, Prof Kong Yuanzhi, karena Zhu serius memberantas korupsi. Perang terhadap korupsi diikuti dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Zhu mengeluarkan dana besar untuk pendidikan manajemen, mengirim ribuan siswa belajar ke luar negeri, dan juga mengundang pakar bisnis berbicara di Cina.
Kini, lihatlah apa yang terjadi di Indonesia. Pengangguran terus bertambah, anak-anak gadis dari desa terpaksa menjadi pelacur di kota, lulusan SMU menjadi pengamen, anak-anak SD yang malu tidak dapat membayar uang sekolah, bunuh diri. Ratusan ribu orang tumpah ke kota-kota karena di desa tidak ada harapan. Ratusan ribu orang menjadi tenaga kerja di luar negeri, ditipu calo dan disiksa majikannya.
Mereka adalah korban. Koruptor menghisap hidup mereka, bertahun-tahun tanpa ada yang menolong. Koruptor mengambil hak mereka atas tanah, hak mereka atas air, hak mereka untuk sekolah, hak mereka untuk berdagang, hak mereka untuk bekerja, hak mereka untuk mendapatkan layanan, hak mereka untuk kesehatan.
Apalagi hak yang tersisa untuk orang-orang miskin itu?
Pemerintah bukan penolong orang-orang miskin,terkadang mereka juga mengambil uang dari orang-orang miskin. Bangsa ini memerlukan orang seperti Zhu Rongji, bukan pesolek.
Sebab, inilah keadaan utama Indonesia:
Jatuhkanlah tiga buah batu dari pesawat udara di wilayah Indonesia, maka yakinlah satu di antara batu itu akan mengenai kepala koruptor
Sumber : Republika Online, 10 Oktober 2005
=============================
Perang Sunyi Di Belantara Curiga
Oleh : Erry Riyana Hardjapamekas*
"Ibarat dua sisi mata uang, aksi pemberantasan korupsi kadang berada pada sisi atas, namun bisa saja fitnah, tebaran curiga, dan aneka modus serangan balik yang berada di sisi atas mata uang itu. "
Ibarat dua sisi mata uang, aksi pemberantasan korupsi kadang berada pada sisi atas, namun bisa saja fitnah, tebaran curiga, dan aneka modus serangan balik yang berada di sisi atas mata uang itu.
Serangan balik dilancarkan bila upaya pemberantasan korupsi mulai mengusik kepentingannya, orang-orangnya, dan/atau kelompoknya. Serangan balik tak cuma mengarah ke lembaga KPK, tetapi juga menyerang personal secara irasional. Rumor dan fitnah kerap ditebar untuk membangun tembok kecurigaan publik. Bahkan, kecurigaan bahwa upaya pemberantasan korupsi merupakan pesanan politik pemerintahan terhadap lawan-lawan politiknya, kerap dikembangkan dalam wacana-wacana publik.
Modus serangan balik pun dibungkus rapi dengan penilaian akan adanya pelanggaran prosedur hukum dan pelemahan sistematis yang perlahan terhadap institusi pemberantas korupsi.
Pengalaman itu rasanya telah banyak dialami selama hampir dua tahun berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pun waktu-waktu sebelumnya saat berbagai upaya pemberantasan korupsi dilakukan oleh kelompok-kelompok yang memimpikan Indonesia yang bersih, dan waktu pula telah mengajarkan bahwa hanya segelintir orang saja yang bermimpi Indonesia bebas korupsi.
Aksi-aksi penindakan yang dilakukan KPK seharusnya hanya menjadi cambuk atau pelecut untuk perbaikan sistem birokrasi di Indonesia. Namun faktanya, semua hanya menjadi penonton adegan demi adegan pemberantasan korupsi semua itu apakah Eksekutif, legislatif, maupun yudikatif tetap diam terpaku, meski satu per satu fakta dipertontonkan. Tidak ada satu pihak pun yang mencoba memanfaatkan momentum untuk perbaikan sistem. Akibatnya, aksi-aksi pemberantasan korupsi dari tahun ke tahun masih berkutat pada masalah yang sama.
Semua mungkin masih ingat apa yang dilakukan Sugiarto, Ketua Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967. Ketika itu tim pemberantasan korupsi sudah menangkap seorang pejabat Polri, mengobrak-abrik Dolog, Pertamina, maupun Departemen Agama. Namun 37 tahun kemudian, pemandangan tetap sama. Kasus menjadi salah satu bukti bahwa minyak, gula, dan beras masih menjadi komoditi yang dikorupsi.
Lembaga-lembaga negara dan BUMN masih jadi ladang korupsi
Artinya, 37 tahun kemudian, Indonesia masih tetap berjalan di tempat, karena aksi penindakan yang bisa saja radikal ternyata tak membawa perubahan. Kuncinya satu, momentum penindakan tak segera diikuti dengan perbaikan sistem yang bisa mencegah praktik-praktik korup. Berbagai usulan untuk perbaikan sistem masih ditanggapi dengan dingin, baik oleh Eksekutif maupun Legislatif, dan Yudikatif.
Pemetaan gerakan antikorupsi belum juga kunjung dirampungkan, begitu pula dengan satuan tugas yang bertugas mereformasi birokrasi tetap hanya sebuah janji yang tak ditindaklanjuti.
Fakta-fakta ini menjadi bukti kecil bahwa tak banyak orang sadar Indonesia dalam kondisi darurat korupsi.
Tak banyak orang mau mengakui Indonesia sedang sakit. Aneka terobosan untuk mengobati Indonesia kerapkali dicibir sebagai upaya mengada-ada belaka. Pengalaman dua tahun ini telah memberi pelajaran banyak bagi gerakan antikorupsi, salah satu di anataranya ternyata masih sedikit orang yang ingin melihat Indonesia bersih.
Kesunyian dan kesendirian masih menemani niat baik melawan korupsi. Tak banyak teman, tak banyak kapital, dan tak banyak dukungan yang menemani gerakan melawan soliditas kekuatan para koruptor ini. Serangan-serangan balik mengajarkan bahwa gerakan antikorupsi masih belum masif.
Kelompok-kelompok antikorupsi masih merupakan kelompok kecil yang berjalan sendirian. Kesunyian "perang" masih menemani upaya melawan gegap gempitanya lawan yang punya segudang kapital, segunung dukungan politik dan kekuatan, serta segerombolan kawan. Soliditas kekuatan koruptor jauh lebih rekat dan besar dibandingkan soliditas antikorupsi yang sungguh sangat rentan diobrak-abrik.
Fakta-fakta di atas adalah realitas yang harus diterima sebagai konsekuensi logis sebuah pilihan. Realitas bahwa pemberantasan korupsi masih setengah hati, masih sebatas setengah niat adalah realitas yang tidak bisa dipungkiri.
Semua bersorak saat koruptor yang ditangkap adalah lawan politiknya, orang lain yang tak dikenal dekat, namun sikap ambigu muncul saat teman, sahabat, saudara, atau anggota separtai dikatakan koruptor. Ramai-ramai teriakan menghujat dilancarkan untuk menyerang aksi pemberantasan korupsi.
Teriakan antikorupsi ternyata masih sebatas slogan-slogan yang beterbangan di ruang-ruang kosong. Lontaran sporadis para pejabat negara menjadi bukti belum adanya kesadaran yang sama akan kondisi Indonesia yang sakit.
Teriakan bahwa korupsi telah memiskinkan rakyat memang menggema kencang di satu sisi, namun saat aksi pemberantasan korupsi mengobrak-abrik lembaga mereka, menyeret teman atau sahabat mereka, teriakan menghujat jauh lebih riuh menggema. Di samping itu semua, kerumitan praktik korupsi menjadi problem tersendiri.
Kerumitan tersebut menjadi sebuah komplikasi yang nyata karena upaya pengungkapan praktik korupsi belum didukung oleh tiga UU yang dipersyaratkan seharusnya ada, yakni UU Perlindungan Saksi dan Korban, UU Kebebasan memperoleh Informasi Publik, dan UU Pembuktian Terbalik.
Padahal dengan adanya ketiga UU itu ditambah cara berpikir progresif dengan strategi aktif menjemput bola, maka upaya-upaya mencari alat bukti untuk mengungkap praktik korupsi bisa lebih cepat dan lengkap. Negara dalam darurat korupsi haruslah menjadi pemahaman bersama sehingga terobosan-terobosan agresif tidak membuat masing-masing kita terkejut-kejut dan berteriak menghujat.
Belum lagi, soal lain, sekelompok orang yang sebenarnya memiliki niat yang sama atas dasar integritas individual yang baik, namun karena masing-masing berada di lembaga berbeda, muncullah semacam kecemburuan kelembagaan, atau lebih celaka lagi merasa ’saya paling bersih’, dan ’mereka memiliki masa lalu yang suram’. Tidak ada satu pun manusia yang bersih, termasuk kita. Sungguh sebuah kesia-siaan yang mengganggu akal sehat.
"Perang" melawan korupsi memang tak cuma butuh niat baik belaka yang dikemas dalam slogan-slogan kosong di ruang-ruang hampa udara. Perlu agresivitas luar biasa dan keberanian besar untuk mewujudkannya dalam aksi-aksi nyata memberantas korupsi.
Dan catatan yang perlu selalu diingat, korupsi bukanlah budaya, korupsi bisa terjadi karena sistem yang dibangun tidak benar dan sikap permisif yang masif terhadap praktik-praktik korupsi yang terakumulasi selama bertahun-tahun.
* Penulis adalah Wakil Ketua KPK
Sumber : Artikel , Opini , Cybermq-9/3/06
==========================
Wawancara :
Amien Rais : " Bongkar Kejahatan Freeport"
Tak ada yang berubah dari sosok Amien Rais.
Penampilannya yang sederhana, dan keberaniannya dalam mengeritik penguasa, masih tetap melekat pada tokoh reformasi ini. Urusan mengeritik penguasa, Amien tak main-main. Belakangan, lelaki kelahiran Surakarta, 26 April 1944 ini, kembali melakukan gebrakan. Isu lawas soal korupsi, perusakan lingkungan dan penjarahan besar-besaran yang dilakukan PT Freeport, sebuah perusahaan pertambangan asing, kembali ia gulirkan.
Dulu pada tahun 90-an, kritiknya soal Freeport menyebabkan ia 'ditendang' dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) oleh Suharto. Mengangkat isu ini menurut Amien, ibarat membentur tembok tebal.
Banyak pihak yang terlibat, terutama para pejabat bangsa ini dan kepentingan asing. Kepada wartawan SABILI Artawijaya dan Rivai Hutapea, mantan Ketua MPR-RI ini bicara blak-blakan soal Freeport.
Berikut wawancara lengkapnya yang berlangsung di pendopo dekat rumahnya di Condong Catur, Yogyakarta, pada Selasa (31/01).
Apa yang melatarbelakangi Anda kembali berteriak lantang soal Freeport?
Jadi pada awal reformasi saya betul-betul tidak bisa menerima sebagai anak bangsa, sebagai umat, melihat kelakuan investor asing yang mengeksploitasi kekayaan alam kita lewat industri pertambangan secara sangat ugal-ugalan, sangat tidak masuk akal. Malah waktu itu saya berhasil menguak pertambangan Busang, yang mestinya akan dibuka di Kalimantan, kemudian andaikata penipuan Busang itu menjadi kenyataan, maka mereka bisa menjual saham di New York dengan harga yang aduhai. Sementara sesungguhnya Busang itu pepesan kosong belaka. Kemudian setelah saya dengan izin Allah, berhasil membongkar kebohongan Busang itu, saya mengarahkan bidikan saya ke kejahatan yang dilakukan oleh PT Freeport McMoran disekitar Timika.
Saya mendasarkan kritik saya bukan hanya kata si Fulan dan si Fulanah, atau berdasarkan qaala wa qiila, tetapi saya memang datang sendiri ke pertambangan Freeport itu. Bahka saya sempat menginap disana dan saya relatif sudah menjelajahi selama setengah hari keadaan pertambangan itu. Sebagai seorang anak bangsa saya betul-betul tidak bisa menerima bahwa ada wilayah kita yang diacak-acak oleh perusahaan Amerika secara sangat menghina, karena sebuah gunung sudah lenyap menjadi danau yang sangat jelek. Kemudian entah berapa luasnya tanah sekitar pertambangan sudah rusak total. Saya juga melihat dengan mata kepala ada pipa besar yang dipasang dari pusat pertambangan di Grasberg disekitar Tembaga Pura itu turun kebawah sepanjang seratus kilometer sampai ke tepi laut Arafura. Kemudian ternyata pipa itu untuk menggotong concentrate atau biji tambang emas, perak dan tembaga yang kita tidak pernah tahu volume atau jumlahnya.
Apalagi saya diberi tahu bahwa jelas kali Freeport itu menggelapkan pembayaran pajaknya. Begitu saya mengungkapkan kenyataan ini sebagai sebuah kenyataan yang bertentangan dengan UUD 45, maka dua minggu kemudian (tahun 1993, red) saya ditendang dari ICMI oleh pak Harto. Setelah itu nampaknya Freeport sebentar melakukan konsolidasi, tidak begitu mencolok mata, bahkan lantas satu persen dari keuntungannya, katanya diberikan kepada masyarakat sekitar. Tapi yang dikerjakan Freepor makin gila, yaitu ada pelipatan wilayah yang dieksploitasi dengan izin pemerintah. Kemudian juga jumlah biji tambang yang diangkut ke luar lebih banyak lagi.
Selama saya jadi Ketua MPR hal ini tidak pernah saya pantau. Saya pernah dibujuk olehJames Moffett pada musim panas tahun 1997 waktu saya ada di Washington. Dia terbang ke New Orleans, dan mengiming-imingi saya. Kata dia, kalau mau saya akan diantar naik helikopter untuk tour ke daerah pertambangan Freeport, dan saya akan diberi keterangan bahwa Freeport tidak merusak ekologi atau lingkungan kita. Kemudian pada saat bersamaan saya di New York ketemu dengan Henry Kissinger. Ternyata dia salah satu Komisaris, dan dia dengan diplomasinya mengatakan, "Kalau Anda melihat penyelewengan hukum, maka beri tahu saya. Saya akan mengambil langkah koreksi." Tetapi semua itu tentu saja hanya sandiwara, karena yang terjadi penjarahan Freeport makin gila menjarah kekayaan kita. Karena itu dengan bismillah, nawaitu yang ikhlas, bukan niat oposisi pada pemerintah, mari kita bersama-sama membongkar kejahatan di Freeport ini.
Telah terjadi korupsi yang maha dahsyat di dunia pertambangan?
Korupsi itu diartikan sebagai tindakan yang merugikan negara lewat penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang. Jadi korupsi yang dimengerti oleh KPK dan kita semua sudah betul, yaitu penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi dan merugikan negara. Yang terjadi di Freeport itu memenuhi kriteria itu secara sangat telak. Negara dirugikan dalam jumlah ratusan atau saya yakin ribuan triliun sejak akhir tahun 60-an. Anda bayangkan, sebuah gunung lenyap, kemudian sudah dihitung bahwa volume ampas pertambangan, tailing, tanah, batu kerikil yang terbuang itu sama dengan dua kali kerukan terusan Panama, sekitar 6 miliar ton. Ini sebuah penghinaan nasional. Saya yakin sekali, kalau Freeport sebagai perusahaan pertambangan babon bisa kita benahi, maka yang kecil-kecil seperti Newmont Minahasa, Newmont NTB, perusahaan Gas Tangguh, dan lain-lain akan lebih bisa diperbaiki karena si babon itu telah lebih dahulu dibenahi. Kalo yang babon ini tetap dibiarkan mengacak-acak kekayaan alam kita, bahkan melakukan penghinaan nasional, maka saya khawatir orang asing akan mencibir kita bahwa pemerintah kita masih seperti dulu, masih bermental inlander, tidak berani mengangkat kepala terhadap asing. Ini tentu meyedihkan sekali. Jadi korupsi maha dahsyat ini harus kita lawan.
Korupsi dahsyat ini tertutup dengan gencarnya pemerintah mengusut korupsi kelas ecek-ecek?
Jadi ramenya pemerintah memberantas korupsi kecil-kecil, yang ratusan juta, yang puluhan juta, sesungguhnya untuk menyembunyikan yang besar-besar.
Jadi rakyat kita ini dibodohi oleh pemerintah kita sendiri. Dan memang rakyat kita sudah terkecoh, seolah-olah pemerintah sudah hebat dalam memberantas korupsi. Setelah 15 bulan berkuasa, menurut Political and Economic Risk Consultancy (PERC) lagi-lagi kita tetap nomor satu dalam korupsi di kawasan Asia ini.
Artinya, korupsi sejati masih tetap berlangsung. Sekarang yang dikejar-kejar hanya korupsi kecil-kecilan, sehingga media massa juga terkecoh, seolah-olah telah terjadi penanganan korupsi secara massif dan sungguh-sungguh. Padahal yang terjadi kucing-kucingan.
Anda pernah mengatakan korupsi di Freeport ini G to G (Goverment to Goverment). Bisa dijelaskan?
Memang ada pembiaran dari pemerintah kita terhadap bisnis yang juga melibatkan pemerintah asing, yang jelas-jelas merusak. Seperti diungkapkan oleh The New York Times, kemudian dimuat secara utuh di The International Herald Tribun tanggal 28-29 Desember 2005. Memang yang mengamankan penjarahan kekayaan bangsa itu adalah aparat keamanan dan pertahanan kita.
Saya tidak mau menyebut nama, tetapi hitam diatas putih dikatakan ada seorang mayor jenderal yang mendapatkan 150.000 US dollar dan ada seorang perwira tinggi kepolisian dapat sekian ratus ribu dollar.
Kemudian ada kolonel, mayor, kapten dan prajurit lain dapat amplop dari Freeport untuk mengamankan supaya orang tidak bisa masuk dan mengetahui hakikat kejahatan Freeport itu. Malah ada bukti otentik, sejak tahun 1996 sampai tahun 2004, Freeport mengeluarkan biaya pengamanan 20 juta US dollar yang dibagi ke lembaga. Ini dibayarkan kepada aparat keamanan kita untuk melindungi Freeport yang zalim itu untuk mengeruk kekayaan kita. Ini yang saya heran kenapa kok dibiarkan.
Pemerintah terkesan tunduk pada kepentingan asing?
Ya, memang ada kepentingan asing yang sangat menghina di Freeport ini. Ada dua jenis negara berkembang dalam menghadapi korporatokrasi yang cenderung maling atau klepto. Saya setuju dengan John Perkins bahwa korporatokrasi itu ada tiga pilar, yaitu: Big coorporation, Goverment dan International Bank. Tiga elemen ini berpacu untuk melakukan pengurasan kekayaan dunia ketiga. Nah, disini ada negeri-negeri yang berani mengangkat kepala dan berani mengatakan No! Terhadap korporatokrasi itu, seperti Thailand, India, RRC, Malaysia. Kita termasuk negeri yang walaupun tidak mengatakan Yes! Tapi tidak pernah mengatakan No! Sehingga begitu enaknya pihak asing menjamah kekayaan negeri kita. Saya pernah ceramah di Melbourne, saya
bertanya kepada perusahaan penambangan Australia, apakah salah saya sebagai orang Indonesia itu mematok bahwa dalam kontrak karya itu royalti yang kita terima itu bukan 15 persen, tapi 50 persen.
Mereka mengatakan tidak ada yang salah dengan pendapat itu karena semau tergantung dengan perjanjian. Tapi mengapa kita diam saja diberi 15 persen, itupun saya yakin sekali pembukuannya sudah tidak betul, karena
kita tidak tahu apa yang terjadi disana.
Apakah SDM kita sudah mampu mengelola pertambangan, jika kita harus lepas dari Freeport?
Ada wartawan yang mengatakan, pak Amien, bukankah kita sudah diuntungkan, karena mereka punya keahlian, mereka bawa mesin, mereka bawa uang, kemudian kekayaan kita dikeruk, kita dapat 15 persen, ini kan sudah lumayan. Saya katakan, kalau begitu apa bedanya dengan zaman penjajahan. Penjajah itu datang bawa mesin, bawa keahlian, bawa modal, kemudian kekayaan kita digotong, yang disisakan hanya untuk pantes-pantesan saja.
Sekarang kita sudah 60 tahun merdeka, sehingga Insya Allah sudah punya keahlian. Banyak lulusan dari ITB, UGM dan lain-lain yang mengatakan bahwa Freeport itu adalah pertambangan terbuka, tidak usah menggali perut bumi, tetapi hanya memecah batu-batuan, lantas digerus dijadikan biji tambang, kemudian jadi concentrate, kemudian menjadi batangan emas. Ini sangat mudah. Kata mereka, otak Indonesia itu lebih mampu, mengapa diberikan kepada Freeport.
Pemerintah kita tidak pernah mempersoalkan aspek pelanggaran yang dilakukan oleh Freeport, terutama soal dampak lingkungan?
Saya kembali pada teori hukum yang elementer. Dalam dunia moral dan hukum itu ada dua macam dosa dan kejahatan: Pertama, sin of crime of commission (Melakukan perbuatan dosa atau jahat). Kedua, sin of crime of ommision (Dosa membiarkan kejahatan). Jadi kalau pemerintah kita di depan matanya berlangsung kejahatan yang dilakukan oleh pihak asing, tetapi diam saja, malah memberikan peluang untuk berlangsungnya kejahatan itu, maka pemerintah kita telah melakukan kejahatan atau dosa membiarkan sebuah kejahatan berlangsung terus menerus. Jadi kalau saya melihat seorang perampok melakukan perampokan lalu saya diam saja, maka saya termasuk melakukan kejahatan ommisi, karena nggak berbuat apa-apa. Saya khawatir pemerintah kita dari masa ke masa kalau terus menjadi pemerintah komprador, yang meladeni kepentingan asing yang merugikan bangsa, maka pemerintah itu telah melakukan kejahatan. Disadari atau tidak.
Kalau begitu, membongkar Freeport sama dengan mengembalikan martabat bangsa?
Betul! Ini masalah bangsa Indonesia. Jadi saya menggelindingkan masalah besar ini dalam rangka save the nation, menyelamatkan bangsa dan masa depan bangsa. Saya tidak ada kepikiran isu ini menjadi gerakan politik yang remeh temeh, apalagi ada dagang sapi. Itu selain lucu, terhina. Ini adalah proyek besar menyelamatkan bangsa.
Seberapa parah imprealisme yang terjadi dalam kasus Freeport dan lainnya saat ini?
Saya kira cukup parah. Karena imperialisme itu berujung pada sebuah bangsa kehilangan kedaulatan dan kebebasannya untuk membangun dirinya sendiri tanpa bantuan asing. Sekarang ini kita mengetahui bahwa kita kehilangan kedaulatan kita. Untuk memecahkan masalah ekonomi nasional, kita pernah mendatangkan 'dukun' IMF. Sekarangpun utang kita sudah menjerat kita. Sekarang pun di kabinet itu sesungguhnya kembali di zaman IMF. Karena menteri keuangannya, menteri perdagangan dan Meno Ekuinnya itu orang-orang yang berorientasi pada IMF. Kemudian juga lihatlah, kita ini tidak berani mengangkat kepala menuruti kemauan WTO (World Trade Organization). Orang Jepang, orang Perancis, Kanada, Amerika, itu petaninya dilindungi. Tapi disini petani kita begitu tengkurap menghadapi WTO, sehingga apapun kata WTO kita kerjakan.
Kita ini jadi bangsa terjajah. Gula kita impor, disuruh impor paha ayam kita lakukan, impor beras, naikan BBM dan lain-lain. Jadi sudah tidak ada kedaulatan lagi. Sehingga kalau dibandingkan dengan pimpinan negara lain seperti Ahmadinejad yang melawan Barat, Mahathir yang berani menegakan kepala terhadap Barat, atau pemerintah Korea Utara yang juga demikian, India, Cina, atau negara-negara Amerika Latinnya. Saat ini dibandingkan negara-negara tersebut, Indonesia menjadi tontonan yang tidak lucu. Negara yang sudah merdeka 60 tahun, tapi mentalitasnya masih seperti inlander. Jadi mari kita kembali menjadi bangsa yang berdaulat, tanpa tekanan pihak manapun.
Apakah ada kepentingan politik pribadi dibalik isu ini, misalnya modal Anda di 2009 nanti?
Pertanyaan Anda sudah banyak ditanyakan. Bahkan ada yang menyatakan, "Pak Amien, Anda membedah soal Freeport ini secara sungguh-sungguh ini, hanya karena menginginkan dana kampanye pilpres 2009 dari pak Ginandjar Kartasasmita?" Saya gembira dengan komentar yang aneh-aneh ini. Tetapi kita diajarkan oleh al-Qur'an, Faidza 'azamta fatawakkal 'alallah, kalau sudah bertekad tinggal bertawakkal pada Allah. Kalau diperjalanan ada pro-kontra, ada fitnah, itu sesuatu yang sangat biasa sekali. Nabi yang sempurna saja itu dikatakan majnun, apalagi orang seperti Amien Rais.
Al-Qur'an juga menyuruh kita untuk terus melakukan nahi munkar. Kalau kita dikritik lantas surut, maka yang keenakan ya yang korupsi itu. Menurut saya, era Amien Rais itu sudah berlalu. Belakangan saya banyak mengambil i'tibar (pelajaran) bahwa pemimpin itu harus istiqamah, jangan sampai terjangkit penyakit nifaq (munafik).
FOTO-FOTO yang Diambil dari Lokasi Tambang PT. Freeport Indonesia
Keterangan Photo (1) :
Ladang Emas Freeport dari atas :
Lubang galiannya merusak keseimbangan alam.Tahun 1967 Freeport mengandeng pemerintah Indonesia mengeruk kekayaan alam yang diperkirakan mengandung cadangan bijih emas terbesar di dunia sebesar 2,5 milyar ton.Sayangnya, kontrak kerja mencantumkan soal pembagian hasil dengan RI hanya dari tambang saja.
Keterangan Photo (2) :
Kawasan Penambangan , Mega Proyek di kawasan terpencil. pengerukan alam Papua yang hanya memberikan royalty sebesar 9 persen untuk pemerintah RI. Ini sebuah imperialis gaya baru dari perusahaan multi nasional terhadap sebuah negara ketiga yang terlihat secara kasat mata.
Keterangan Photo (3) :
Limbah Tailing , butiran pasir alami yang halus sisa dari pengolahan bijih tambang, yang dibuang ke sungai maupun laut mengakibatkan kerusakan benthos dan biota lainnya.Deposition Area Tailing (Tempat pembuangan sampah tailing) telah mencapai luas 230 km yang kemudian membentuk pulau-pulau kecil.Pembuangan sampah tailing dalam jumlah besar akan mengganggu ekosistem sekitar. Habitat hewan dan tumbuhan Taman Nasional Lorenz, pusat konservasi alam terbesar di Indonesia yang berdekatan dengan lokasi penambangan, dikhawatirkan akan tercemar, musnah. Dan ujung-ujungnya keseimbangan ekosistem alam akan terganggu. Bumi sekitar akan makin panas, tercemar dan tandus.Dan parahnya, dalam kontrak pengolahan tambang itu sama sekali tidak tercantum kewajiban Freeport untuk menangani tailing.
No comments:
Post a Comment