Thursday, May 04, 2006
Ragam Fauna
MURAI BATU LAMBANG MONOGAMI
Oleh : M. Clara Wresti
Bagi masyarakat Indonesia, burung termasuk hewan yang paling digemari untuk dipelihara . Lihat saja , hampir di setiap kota pasti terdapat pasar burung yang selalu ramai didatangi pembeli. Bahkan menurut sebuah survei, satu dari lima rumah tangga pasti memelihara burung.
Salah satu burung yang paling digemari untuk dipelihara adalah murai batu. Jika mendengar nama akhir yang disandangnya, berkesan sesuatu yang keras dan tidak nyaman. Namun, jika mendengar kicauannya, suara murai batu sangat merdu dan empuk di telinga. Inilah yang membuat para penggemarnya berlomba-lomba mendapatkan murai batu dengan kualitas suara yang paling baik.
Banyak cara yang dilakukan para penggemar murai batu untuk mendapatkan kualitas suara paling baik. Ada yang memberikan makan tidak hanya kroto, tetapi juga jangkrik. Mereka juga memberikan pelatih suara berupa burung jenis lain, atau kaset suara burung berkicau. Mereka juga tidak pernah lupa menjemur dan memandikan burung. Pokoknya, apapun mereka lakukan asalkan burung murai mereka berkicau dengan riang.
Murai batu digemari pecinta burung karena kemampuannya mengeluarkan suara yang indah dan sangat beragam. Murai batu banyak ditemukan di berbagai daerah di Indonesia, terutama di Sumatera, Kalimantan, sebagian Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Murai batu yang berasal dari Sumatera disebut murai batu medan dan murai batu lampung. Murai batu yang berasal dari Kalimantan disebut murai batu malaysia, sedangkan yang dari Jawa disebut burung larwo.
Murai batu (Copychus malabaricus) adalah anggota keluarga Turdidae. Keluarga Turdidae dikenal memiliki kemampuan berkicau yang baik dengan suara merdu, bermelodi, dan sangat bervariasi.
Ciri umum semua jenis murai batu adalah ekornya, yang merupakan bagian paling dominan karena panjangnya melebihi ukuran badannya. Kepala, leher, dada bagian atas, dan paruhnya berwarna hitam berkilau. Badan bagian bawah berwarna cokelat kemerahan. Panjang badan untuk betina 22 cm, sedangkan untuk jantan mencapai 28 cm.
Menurut buku Murai Batu (Redaksi Agromedia), murai batu medan memiliki nilai jual yang paling tinggi. Ini karena baik penampilan fisik maupun kualitas kicauannya jauh di atas murai batu lainnya. Jika diilustrasikan , variasi kicauan murai batu medan adalah a, b, c,...,o. Setelah menyelesaikan kicauan sampai variasi o, murai batu medan dapat berkicau lagi dari variasi f, g, atau bahkan j, dan tidak mengulang lagi dari a. Sedangkan murai batu lampung, misalnya, dia mempunyai variasi yang lebih pendek dan akan diulang-ulang terus menerus. Kemampuan murai batu medan inilah yang membuat murai batu medan ini langka di hutan-hutan sumatera karena banyak ditangkap.
Murai batu sering dianggap sebagai lambang pemersatu keluarga karena sifatnya yang monogami. Seekor murai jantan akan mematuk hingga mati betina lain yang masuk ke kandangnya. Dia ingin memastikan, hanya pasangannya saja yang menjadi ratu di kandangnya.
Salah seorang penggemar murai batu adalah Budi Hartanto (54), yang sehari-hari disapa dengan nama Abun. Di rumahnya ratusan burung murai batu ditangkarkan. Jika burung-burung itu sedang berkicau bersamaan, kicauannya membuat telinga sakit.
"Memelihara murai batu ini sebenarnya paling enak. Kita bisa mengatur sendiri kapan burung ini berkicau, dan kapan dia harus diam. jika kita ingin mendengarkan kicauannya, jemurlah dia dan dekatkan dengan burung jantan yang lain. Dia pasti berkicau. Tetapi, kalau ingin tenang, kita matikan saja lampu atau tutup kandangnya dengan kain. jika gelap, dia akan diam," kata Abun yang gemar murai batu sejak aia masih kecil di medan.
Dulu Abun mendapatkan murai batu dengan cara menangkap di hutan. "Saya tidak memakai lem karena hanya akan merusak bulunya. Saya menangkapnya dengan tangan. Caranya saya memakai burung murai betina.Betina ini saya ikat kakinya dengan tali. Lalu saya bersembunyi di balik semak-semak sambil memegang ujung talinya. Jika ada burung jantan yang melihat, dia pasti akan hinggap untuk mematuk kepala betina. Saat itulah burung jantan itu saya tanggap, " kenang Abun yang baru saja membuang piala kemenangan lomba kicau burung sebanyak dua mobil boks L-300.
Sekarang Abun tidak lagi menangkap murai batu di hutan. Setelah dia menyadari populasinya jauh berkurang dibandingkan dengan ketika dia masih kecil. Abun lalu coba menangkarkan murai batu tersebut di rumah.
"Saat ini saya sedang mencoba menangkarkan murai berkepala putih. Sudah lama saya tidak melihat murai batu berkepala putih. Jangankan di hutan, di pedagang saja, murai batu tersebut sudah sulit ditemui."
Abun sudah punya pejantannya, tetapi setiap kali bertelur yang lahir selalu berkepala hitam. "Baru beberapa hari yang lalu saya berhasil mendapatkan murai batu berkepala putih dari teman saya. Mudah-mudahan penangkaran saya ini berhasil sehingga murai ini tidak punah," ujar Abun yang sejak tahun 2000 berhasil mengembangbiakkan murai batu.
Abun bersama penggemar murai batu lain yang jumlahnya mecapai 20-an orang, memang sudah penasaran dengan murai batu berkepala putih. Di rumah Abun, mereka sering berkumpul untuk ngobrol soal burung hingga lupa waktu. Ini di luar waktu lomba yang hampir setiap minggu digelar. Selain mengobrol, jika ada burung yang sakit, mereka juga akan bersama-sama mengoperasi burung. Operasi ini harus mereka lakukan sendiri karena mereka belum menemukan dokter hewan yang menaruh perhatian pada burung.
"Mungkin karena di kandang sehingga gerakan terbatas, beberapa burung yang memiliki lemak menekan jantung. Jika sudah begitu, biasanya burung tidak kuat berkicau dan nafas tersengal-sengal. Kami buka perut burung dengan pisau cutter, tanpa bius. Kami keluarkan ususnya untuk mencari lemaknya. Setelah lemak dibuang, usus dikembalikan di tempat semula, dan lubang operasi dijahit lagi. Jaminan, 15 menit kemudian burung akan berbunyi lagi dengan nyaring," cerita Abun.
Menurut Abun, ketika dioperasi, burung tidak perlu dibius karena dia memakan makanan hidup yang menumbuhkan antibodi di tubuh burung. "Hanya saja sebelum operasi, kami cuci tangan dengan alkohol dulu," kata dia.
Sumber : Kompas Minggu, 19 Pebruari 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment