Friday, June 09, 2006

Editorial





DEFINING MOMENT :
PASCA BENCANA

SERING KALI kita merasa sudah melakukan segala sesuatu, tetapi seringkali hasilnya mungkin tidak seperti apa yang kita harapkan. Bahkan kita merasa sudah menetapkan tujuan, merencanakan langkah, bahkan membidik orang-orang yang akan dimintai bantuan dalam rencana kita. Semua daya sudah dilakukan, bahkan doa dengan sanad serta perawi terpilih sudah dilontarkan. Tapi kenapa kegagalan masih menghampiri?

Mungkin inilah saatnya Defining Moment diberlakukan. Defining Moment artinya menjadikan kejadian-kejadian yang kelihatannya buruk dan tidak diinginkan sebagai momen pijakan. Artinya, kegagalan yang dialami, entah itu besar atau kecil, dadakan atau berkepanjangan, dijadikan dorongan yang benar-benar tepat untuk melakukan perubahan, perbaikan, audit, dan seterusnya. Bahkan ada yang menjadikannya sebagai momen untuk menaikkan standar prestasi yang telah ditetapkan sebelumnya.

Kita memang tidak boleh berhenti belajar dari kesalahan . Mungkin karena terburu-buru , bisa saja masih ada prediksi-prediksi yang tidak tepat, lontaran-lontaran pertanyaan atau staement yang salah tujuan yang seharusnya bisa direm. Dalam konteks bencana alam seharusnya hanya aparat pemerintah yang wajib kita percayai. Karena hanya merekalah yang memiliki alat canggih serta sekawanan ahli yang "mumpuni". Kewenangan aparat haruslah kita patuhi untuk sesuatu kondisi yang kita memang tidak punya kapasitas pengetahuan tentang itu. Pertanyaan yang seharusnya kita tujukan untuk seorang ahli vulkanologi, mungkin tidaklah tepat jika kita tujukan kepada seorang paranormal. Selain menjurus pada kemusyrikan juga hanya akan membuat kita terjerembab pada kubangan yang sama.

Sebagai anggota masyarakat , kita juga harus sering mengingatkan pemerintah agar dapat bertindak prefentif terhadap segala bencana alam. Momentum seperti kejadian Tsunami di Aceh yang disertai gempa hampir 9 scala richter, disusul gempa bumi di DIY Yogyakarta yang 5,9 scala richter haruslah dijadikan pijakan untuk membuat rencana dan pemetaan gempa yang lebih teliti.

Mungkin ada yang ingat bahwa dalam siaran persnya CNN berdasarkan laporan dari pusat penelitian gempa di Hawai menyebutkan bahwa gempa di DIY Yogyakarta adalah sebesar 6,1 skala richter. Mungkin untuk orang awam seperti kita tidak begitu menyadari perbedaan yang hanya 0.2 skala richter. Tapi mungkin bagi seorang ahli gempa hal ini bisa dijadikan alasan mendorong pemerintah untuk secara rutin mengupdate alat atau software bagi mitigasi bahaya gempa bumi dan tsunami di masa mendatang. Juga sebagai alasan untuk minta diikutsertakan dalam seminar-seminar, lokakarya, atau workshop di dalam dan di luar negeri yang mengindikasikan adanya temuan-temuan baru. Prioritas yang mendesak saat ini adalah menghasilkan rencana kegiatan penelitian dan skema prioritas perencanaan dalam mitigasi bahaya gempa bumi dan tsunami di Indonesia di masa mendatang.

Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jan Sopaheluwakan, pada acara International Meeting on The Sumatran Earthquake Challenge (Padang, 24-28/8/2005) menyatakan bahwa saat ini dibutuhkan konsep penanggulangan bencana yang jelas untuk meminimalisir jumlah korban.

Konsep itu selain untuk dilaksanakan pemerintah juga penting untuk mendidik masyarakat. Masyarakat di Shizuoka, sebelah selatan Tokyo, misalnya, pernah suatu saat menunggu-nunggu terjadinya gempa Tokai yang bisa mengakibatkan tsunami setinggi sembilan meter. Tapi, warga tidak panik. Mereka malah bersiap, seperti menyiapkan jalur mitigasi, bukit dan gedung untuk menyelamatkan diri, termasuk menyiapkan pengungsian dengan segala logistiknya.

Untuk urusan nyawa kita memang tidak boleh main-man.

======================================

Siaran Pers:
Menyambut Hari Lingkungan Hidup Se-Dunia 5 Juni 2006
KITA BERADA DI AMBANG
BENCANA EKOLOGI YANG SERIUS


Menjelang Hari Lingkungan Hidup Se-Dunia 5 juni 2006, kita melihat kenyataan pahit terjadinya bencana gempa bumi yang meluluhlantakkan Bantul, Klaten, Yogyakarta, Magelang dan beberapa daerah lainnya di DIY dan Jateng pada Sabtu pagi 27 Mei 2006.

Korban jiwa lebih dari 5000 orang, sementara puluhan ribu orang lainnya luka-luka, kehilangan tempat tinggal dan tidak lagi memiliki sumber kehidupan.

Satu tahun terakhir negeri ini diterjang berbagai bencana. Setelah gempa dan smong (tsunami) memporak-porandakan Aceh dan Nias (Sumut), bencana demi bencana silih berganti, bencana nyaris merata di
seantero nusantara.

Celakanya pemerintah tidak pernah bisa belajar dari berbagai bencana itu, terbukti sampai bencana yang kesekian kalinya tetap saja manajemen bencana pemerintah tidak berubah, selalu kaget, terlambat, tidak ada koordinasi dan korban terus berjatuhan.

Korban bencana gempa di Yogyakarta misalnya sampai saat ini sekian ratus orang justru merasa aman setelah mengungsi ke kuburan, tanpa ada yang mempedulikan mereka.

Sekilas memang semua bencana itu adalah musibah dan atas kehendakYang Maha Kuasa. Tetapi tunggu dulu! Lihatlah korban gempa bumi di DIY dan Jateng, sebagian besar korban adalah mereka yang hidup sederhana, yang konstruksi rumah mereka tidak aman dari gempa.

Lihat pula bencana banjir bandang dan longsor di Jember, Banjarnegara, Trenggalek, Mojokerto dan Malang. Demikian juga banjir yang melanda beberapa daerah di Sumatra, Sulawesi dan Kalimantan,
hampir semua korban adalah warga miskin, sementara penyebab banjir bandang dan longsor adalah karena hutan diekspoitasi tanpa batas oleh pemilik modal, atas restu pemerintah.

Pulau Jawa yang luasnya hanya 7 % dari wilayah Indonesia, dihuni lebih 65 % penduduk Indonesia, sementara cadangan air yang tersisa hanya 4 % dari ketersediaan air di Indonesia. Dalam kondisi daya dukung Pulau Jawa yang mengerikan itu, seluas 3,5 juta hektar kawasan yang mestinya dipertahankan sebagai hutan untuk melindungi kehidupan, justru dijadikan hutan produksi dan ditelantarkan oleh Perum Perhutani yang diberi mandat mengurusnya. Bahkan 315.000 hektar hutan lindung di Jawa Timur, masih diserahkan kepada Perhutani dan dibiarkan dikonversi (alih fungsi menjadi hutan produksi). Sementara di luar Jawa, hutan dikuasai HPH dan perkebunan besar.

Aksi ganyang illegal logging yang dicanangkan Menhut dan Kapolri, sampai saat ini belum ada perubahan signifikan menghentikan penjarahan hutan oleh pemilik modal. Sampai saat ini tetap saja laju kehancuran hutan di Indonesia mencapai 3 juta hektar setiap tahun.

WALHI mencatat:
Buruknya pengelolaan kawasan tangkapan air berakibat terjadinya 236 kejadian banjir di 136 kabupaten di 26 propinsi. Juga terjadinya 111 kejadian longsor pada 48 kabupaten di 13 propinsi, serta 80 kejadian kekeringan pada 36 kabupaten (2003). Bahkan sebanyak 53% rumah tangga tidak dapat mengakses sumber air bersih.


Bencana banjir bandang dan longsor mungkin segera berlalu untuksementara, tetapi akan berganti dengan bencana lain: kekeringan, krisis air, krisis listrik akibat kebutuhan air untuk PLTA tidak terpenuhi, gagal panen dan kebakaran hutan. Bencana ini pasti terjadi karena lebih dari 80% satuan daerah aliran sunggai (DAS)
telah rusak menurut data PU. Kantung-kantung air telah dihancurkan oleh kegiatan penebangan hutan, ekstraksi mineral dan batubara, migas dll.Negeri ini dalam ancaman serius kelangkaan air sebagai kebutuhan dasar.

Sementara bencana gunung api atau gempa tetap akan menjadi ancaman serius setiap saat, terutama jika fasilitas hidup bagi rakyat tidak pernah layak sementara sumberdaya alam dikuras untuk APBN dan APBD, cara-cara mengahadapi bencana tidak diprogramkan dalam pendidikan dan penanganan bencana oleh pemerintah tidak menunjukkan kualitas serta koordinasi yang lebih baik.

Indonesia juga menghadapi kondisi kehilangan kedaulatan, ketahanan pangan dan energi. Akibat leberalisasi yang dikukuhkan oleh kebijakan negara sebagai bukti kepatuhan pemerintah pada Negara- Negara Utara dan pemilik modal. Kondisi kesehatan rakyat juga makin memburuk. Pandemi penyakit seperti flu burung, sukumunyang, busung lapar, polio, terus saja meningkat. Sumber-sumber pangan juga telah teracuni pestisida dan bahan berbahaya beracun lainnya. Ikan, tahu, daging di awetkan dengan formalin. Sayuran di kota2 besar di siramidengan air dari parit2 yang telah terkontaminasi logam berat.

INDONESIA BENAR-BENAR SUDAH BERADA DI AMBANG BENCANA EKOLOGI YANG SERIUS, yakni akumulasi krisis ekologi yang disebabkan oleh ketidakadilan dan gagalnya sistem pengurusan sumber-sumber kehidupan yang telah mengakibatkan kolapsnya hampir seluruh pranata kehidupan.

Dengan fakta tersebut di atas, melalui momentum peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni 2006, kami mendesak Presiden SBY untuk:

  1. Mengevaluasi seluruh lini pemerintahan yang saat ini jelas-jelas tidak efektif, Presiden SBY harus berani dan segera melakukan perbaikan yang radikal.
  2. Memastikan seluruh kebijakan pembangunan tidak lagi menjadi pintu gerbang terjadinya bencana dan tragedi kemanusiaan. Untuk itu hak-hak ekonomi, sosial dan budaya harus tercermin dalam seluruh kegiatan pembangunan, sehingga korban bencana dipastikan dapat diminimumkan.
  3. Memastikan pengelolaan lingkungan dan sumber-sumber kehidupan dilaksanakan dengan melibatkan rakyat dan ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan kemakmuran pemilik modal dan segelintir pejabat.
  4. Segera membentuk Tim Penyelamat Pulau Jawa (TPPJ) dan membubarkan Perum Perhutani.
  5. Segera membentuk tim khusus yang mengevaluasi seluruh kegiatan usaha industri, pertambangan dan/atau pembangunan yang potensial memicu bencana ekologi. Selama tim melakukan evaluasi, seluruh kegiatan usaha/pembangunan dimaksud harus di non aktifkan.
  6. Menaikkan status Kementerian Negara Lingkungan Hidup yang saat ini non departemen, menjadi departemen atau memiliki kewenangan penuh (tunggal) dalam: mengeluarkan, mengawasi dan mencabut perijinan lingkungan.
  7. Memerintahkan Menteri Pertanian RI untuk segera merevisi UU No. 12/1992 Tentang Budi Daya Pertanian yang lebih menguntungkan pemilik modal (yang memberi peluang monopoli: bibit, pupuk danpestisida), agar mernjadi undang-undang Tentang Perlindungan Petani.
  8. Memerintahkan Mendiknas agar segera memasukkan pengenalan dan cara-cara praktis menangani bencana dalam program pengajaran di sekolah dan pendidikan luar sekolah.

Surabaya, 4 Juni 2006

Syafruddin Ngulma Simeulue
Direktur Peduli Indonesia dan
Anggota Dewan Nasional WALHI
=========================

GEMPA ACEH :
SUDAH DIPREDIKSI SEJAK 2002


Ahli gempa dan tsunami di Indonesia telah memprediksikan terjadinya gempa berkekuatan besar yang melanda Aceh Utara dan bagian barat Sumatra Utara.

Dadang K. Mihardja, Ketua Tim Mitigasi Bencana Bumi Fakultas Ilmu Kebumian, Teknologi dan Mineral ITB, mengungkapkan pada 2002 pakar geologi gempa bumi Danny Natawidjaya sudah memprediksi adanya periode gempa besar kawasan zona subduksi Mentawai dengan kisaran 170 hingga 200 tahun sekali. Berdasarkan sejarah gempa di Sumatra, gempa besar berkekuatan 9 skala Richter pernah terjadi pada November 1833, disusul dengan tsunami yang menyapu hampir sepanjang pantai Sumatra bagian barat.

"Disertasi itu pernah dijadikan acuan oleh ahli gempa dan tsunami ITB ketika berbicara dengan kalangan pemerintah di Pusat Penelitian Gempa (PPG) DVMBG," ujarnya kemarin. Sayangnya, kata Dadang, para ahli tidak memiliki link dengan pengambil keputusan sehingga peringatan tersebut hanya menjadi kajian di kalangan para ahli gempa dan tsunami.
"Kami tidak mempunyai keberanian untuk mempublikasikannya." Pasalnya, menurut dia, gempa hanya dapat diketahui periodenya, sedangkan titik pastinya sulit diprediksi.
"Bagi ilmuwan, itu terlalu riskan karena bentangan waktunya bisa puluhan tahun. Bagaimana kalau masyarakat sudah diungsikan, tapi gempa belum kunjung juga."

Gempa susulan

Sementara itu, Direktorat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) memperkirakan kemungkinan terjadinya gempa bumi dan tsunami susulan di wilayah Aceh. Kasubdit Mitigasi Bencana Geologi DVMBG Surono menyatakan besarnya kekuatan pergerakan sesar atau patahan bumi yang berada di laut dan pergerakannya naik hingga menimbulkan gelombang air laut cukup besar atau tsunami, bukan tidak mungkin akan masih menyisakan gempa susulan yang belum diketahui kapan tejadinya.

"Karena untuk menstabilkan patahan tersebut memerlukan waktu," ujarnya saat dihubungi wartawan kemarin. Lokasi pergerakan sesar atau patahan bumi tersebut terjadi di lautan antara Pulau Sumatra dengan untaian pulau sepanjang Pulau Sumatra seperti Pulau Nias dan Pulau Mentawai. Menurut dia, jika gempa terjadi di sebelah barat Pulau Nias, maka besaran tsunami yang mencapai pantai Pulau Sumatra tidak akan sebesar musibah bencana alam yang terjadi saat ini.

"Sesar yang menyebabkan gempa bumi dan tsunami di NAD tersebut, memanjang yang mencapai wilayah India dan Thailand, karena dalam satu lempengan yang sama," paparnya.
Selama ini, sesar yang berada di laut tersebut belum diberi nama dan berbeda dengan sesar yang berada di sepanjang daratan Pulau Sumatra yang lebih dikenal dengan nama sesar Semangko. Dia mengungkapkan wilayah NAD memang merupakan daerah rawan gempa dan tsunami menyusul seringnya terjadi gempa tektonik di wilayah tersebut. Sebagai bukti NSD rawan gempa, dilihat dari beberapa kejadian gempa bumi yang terjadi pada tahun 1983, 1990 dan 2003.

"Dan tsunami terjadi pada 1837, 1907 dan 1948," ungkapnya. Selain NAD, tutur Surono, daerah rawan gempa dan tsunami terjadi pula di pesisir barat Sumatra seperti Subar, Bengkulu, dan Sumsel. Untuk itu, masyarakat harus tetap waspada dengan adanya gempa susulan yang akan terjadi. Langkah antisipasi lainnya pasca bencana, lanjut Surono, ke depannya nanti masyarakat yang tinggal di sepanjang tepi pantai untuk memiliki interval dari pantai agar terhindar dari bencana tsunami tersebut.

"Keberadaan ekosistem yang ada di tepi pantai harus dijaga agar dapat berfungsi untuk menahan terjadinya gelombang besar akibat tsunami. Hingga energi besar dari tsunami ke darat akan berkurang karena terhalang ekosistem tepi pantai seperti hutan bakau," paparnya. (k14)

Sumber: Bisnis Indonesia 28/12/04 (Diambil dari Situs BPPT)

=======================================
MBAH MARIJAN :
SAYA BUKAN PARANORMAL

Mbah Marijan, juru kunci gunung Merapi yang belakangan ini banyak dikaitkan dengan aktivitas Gunung Merapi dengan Wedus Gembelnya, mengaku enggan memprediksi gunung tersebut karena merasa dirinya bukan paranormal.

Saat di temui Kominfo, Senin (29/5) di Yogyakarta, Mbah Marijan menuturkan, keadaan Merapi saat ini memang kadang – kadang bagus tapi kadang – kadang juga jelek, itu berarti kaadaan Merapi tidak stabil dan susah ditebak.

Laki – laki yang lahir 78 tahun silam ini juga mengatakan, dirinya tidak bisa memprediksi kapan Merapi akan benar – benar tenang atau justru sebaliknya, kapan akan meletus.

“Pancen Merapi niku kados ngaten, selawase inggih kados ngaten, kadang mundak kadang ya mudun (jadi Merapi memang begitu, selamanya juga begitu, kadang aktivitasnya naik tapi kadang juga turun/normal kembali),” kata Marijan.

Mbah Marijan menuturkan, DI Yogyakarta lagi dicoba sama yang Yang Maha Kuasa, karenanya dia berharap kepada pemerintah agar cepat tanggap terhadap bencana ini.
Ketika ditanya apakah dalam menghadapi penanganan bencana Gunung Merapi ada semacam ritual, pria lanjut usia yang berdomisili di desa Kinahrejo, Umbul Harjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta ini mengatakan, “saya tidak tahu.”

“Kulo sanes paranormal, mangke malah mboten karu – karuan. Kula niku tiyang bodho, ndak ngko diarani ngaku pinter, ngko malah diarani tukang ngedobos, ya to!
(Saya bukan paranormal, nanti malah jadi ngga karu – karuan. Saya ini orang bodoh, nanti malah dikirain saya ngaku – ngaku orang pintar, nanti malah saya dikira tukang bohong, ya kan!),”
tambahnya.

Dia hanya bisa mengingatkan kepada masyarakat berkaitan dengan banyaknya bencana yang terjadi belakangan ini, agar semua orang memperhatikan lingkungan, jangan sampai rusak karena ulah manusia, sebab hal itu akan mendatangkan musibah.

Menurut dia, “Sekarang ini kita sedang diperingatkan oleh alam supaya kita tidak semaunya sendiri terhadap alam, justru kita sendiri harus bersahabat dengan alam." .(Goes/id)

Sumber : Kominfo-Newsroom, Yogyakarta, 30 Mei 2006

No comments: